Ruang Lingkup Ilmu Politik
1. Teori Politik
2. Partai-partai politik
3. Administrasi negara
4. Hukum Internasional dan
Politik Internasional
5. Organisasi Internasional
6. Pendapat umum dan
Propaganda
7. Perbandingan Politik
8. Pemerintah Pusat dan
Daerah
9.
Hukum Tata Negara dan Hukum Internasional.
Sedangkan menurut pendapat Carlton Clymer Rodee, dkk.
(1988:11-22) mengungkapkan bahwa kajian ilmu politik meliputi:
1. Filsafat Politik
2. Peradilan dan Proses
Hukum
3. Proses Eksekutif
4. Organisasi dan Tingkah
Laku Administrasi
5. Politik Legislatif
6. Partai Politik dan
kelompok kepentingan
7. Pemungutan suara dan
pendapat umum
8. Sosialisasi politik dan
kebudayaan politik
9. Perbandingan politik
10. Pembangunan politik
11. Politik dan organisasi internasional
12.
Teori dan
Metodelogi Ilmu politik
Defenisi ilmu politik berbeda-beda karena kajian ilmu politik sangat luas sehingga dalam pendefenisiannya pun
masing-masing melihat dari sudut pandang berbeda. Namun, ilmu politik kajiannya begitu luas sehingga beragam pendapat tentang
bidang telaahan ilmu politik. UNESCO merumuskan ke dalam 4 (empat) bidang utama
dengan 15 (limabelas) , yaitu :
I.
Teori Politik
1. Teori-teori
Politik
2. Sejarah
Pemikiran Politik
II.
Lembaga-lembaga Politik
1. Undang-undang
Dasar
2. Pemerintahan
Nasional
3. Pemerintahan
Daerah
4. Administrasi
Negara
5.
Pelaksanaan Fungsi Sosial dan Ekonomi oleh Pemerintah
6.
Perbandingan Pemerintahan dan Lembaga-lembaga Politik
III. Partai Politik dan Pendapat Umum
1. Partai-partai
Politik
2. Kelompok
Kepentingan dan Kelompok Pendesak
3.
Partisipasi Warga Negara dalam Pelaksanaan Pemerintahan
4. Pendapat
Umum (Opini Publik)
IV. Hubungan Internasional
1. Politik
Internasional
2.
a Administrasi
dan Organisasi Internasional
3 Hukum
Internasional
Dari pendapat beberapa sarjana politik di atas
terlihat bahwa ruang lingkup ilmu politik
meliputi bidang-bidang yang sangat luas. Namun
demikian, pada intinya ilmu politik dapat meliputi:
1.
Filsafat dan teori politik.
Teori-teori politik ini tidak memajukan suatu
pandangan tersendiri mengenai metafisika dan epistemology, tetapi berdasarkan
diri atas pandangan-pandangan yang sudah lazim diterima pada masa itu. Jadi, ia
tidak menjelaskan asal-usul atau cara lahirnya norma-norma, tetapi hanya
mencoba untuk merealisasikan norma-norma dalam suatu program politik.
Teori-teori semacam ini merupakan suatu langkah lanjutan dari filsafat politik
dalam arti bahwa ia langsung menetrapkan norma-norma dalam kegiatan politik.
Misalnya, dalam abad ke 19 teori-teori politik banyak membahas mengenai hak-hak
individu yang diperjuangkan terhadap kekuasaan negara dan mengenai sistem hukum
dan sistem politik yang sesuai dalam pandangan itu. Bahasan-bahasan ini
didasarkan atas pandangan yang sudah lazim pada masa itu mengenai adanya hukum
alam (natual law), tetapi tidak lagi mempersoalkan hukum alam itu sendiri.
2.
Struktur dan lembaga-lembaga politik.
Lembaga-lembaga politik merupakan
kajian terhadap lembaga-lembaga
politik khususnya peranan konstitusi, eksekutif,
birokrasi, yudikatif,
partai politik dan sistem pemilihan, yang mula-mula mendorong
pembentukan
formal jurusan-jurusan ilmu politik di banyak
niversitas pada akhir abad ke-19
(Miller, 2003: 790). Sebagian besar mereka tertarik
pada penelusuran asal-usul
dan perkembangan lembaga-lembaga politik dan
memberikan deskripsi-deskripsi
fenomenologis; memetakan konsekuensi-konsekuensi
formal dan prosedural dari
institusi-institusi politik.
Banyak para ahli politik kontemporer yang menghabiskan
waktunya untuk
memonitor, mengevaluasi, dan menghipotesiskan tentang
asal-usul,
perkembangan dan konsekuensi-konsekuensi
lembaga-lemabag politik, seperti
aturan-pluralitas sistem pemilihan atau
organisasi-organisasi pemerintahan yang
semu. Namun sebagian lagi mereka kurang toleran dan
mengklaim bahwa mereka
terlibat dalam deskripsi-deskripsi tebal hanya karena
mereka memang ilmuwan
politik yang handal, bukan yang kebanyakan ada.
3.
Partai politik dan organisasi masyarakat.
Partai-partai, golongan-golongan dan pendapat umum,
banyak memakai konsep-konsep sosiologis dan psikologis dan sering disebut political dymanics oleh karena sangat
menonjolkan aspek-aspek dinamis dari proses-proses politik. Partai politik
pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa
rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam
proses politik, maka partai politik telah secara spontan dan berkembang menjadi
penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain. Partai
politik pada umumnya dianggap sebagai manisfetasi dari suatu sistem politik
yang sudah modern atau yang sedang dalam proses memodernisasikan diri. Maka
dari itu, dewasa ini di negara-negara baru pun partai sudah menjadi lembaga
politik yang biasa dijumpai.
Di negara-negara yang menganut paham demokrasi,
gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat
berhak turut menentukan kebijaksanaan umum (public policy). Di negara-negara totaliter gagasan mengenai
partisipasi rakyat didasari pandangan elite politiknya bahwa rakyat perlu
dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng. Untuk mencapai
itu, partai politik merupakan alat yang baik.
Secara umum
dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir
yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang
sama. Tujuan kelompok ini untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kedudukan politik –(biasanya) denagn cara konstitusional – untuk melaksanakan
kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.
4.
Partisipasi warga negara.
Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan
suatu bentuk partisipasi politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan
sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan tak langsung
– dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Kegiatan –kegiatan ini mencakup
kegiatan memilih dalam pemilihan umum; menjadi anggota golongan politik seperti
partai, kelompok penekan, kelompok kepentingan; duduk dalam lembaga politik
seperti dewan perwakilan rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil
rakyat yang duduk dalam badan itu; berkampanye dan menghadiri kelompok diskusi,
dan sebagainya. (Kebalikan dari partisipasi adalah apati. Seseorang dinamakan
apatis (secara politik) jika tidak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan tersebut
di atas.
Partai politik berbeda dengan kelompok penekan (pressure group) atau istilah yang
lebih banyak dipakai dewasa ini, kelompok kepentingan (interest group). Kelompok ini bertujuan memperjuangkan suatu
“kepentingan“ dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik agar mendapatkan
keputusan-keputusan yang menguntungkan atau menghindari keputusan yang
merugikan. Kelompok kepentingan tidak berusaha menempatkan wakil-wakilnya dalam
dewan perwakilan rakyat, melainkan cukup mempengaruhi satu atau beberapa partai
di dalamnya atau instansi pemerintah atau menteri yang berwenang. Teranglah
bahwa kelompok kepentingan mempunyai orientasi yang jauh lebih sempit daripada
partai politik, yang –karena mewakili pelbagai golongan- lebih banyak
memperjuangkan kepentingan umum. Pun organisasi kelompok kepentingan lebih
kendor dibanding partai politik.
Kelompok – kelompok kepentingan berbeda-beda antara
lain dalam hal struktur, gaya, sumber pembiayaan, dan basis dukungannya; dan
perbedaan-perbedaan ini sangat mempengaruhi kehidupan politik, ekonomi dan
sosial suatu bangsa. Walaupun kelompok-kelompok kepentingan juga diorganisir
berdasarkan keanggotaan, kesukuan, ras, etnis, agama atau pun berdasar
isue-isue kebijaksanaan, kelompok-kelompok kepentingan yang paling kuat, paling
besar, dan secara finansial paling mampu adalah kelompok yang berdasar pada
bidang pekerjaan atau profesi, terutama karena kehidupan sehari-hari dan karier
seseoranglah yang paling cepat dan paling langsung dipengaruhi oleh
kebijaksanaan atau tindakan pemerintah. Kerana itu sebagian besar negara
memiliki serikat buruh, himpunan pengusaha, kelompok petani dan
persatuan-persatuan dokter, advokat, insinyur dan guru.
5.
Hukum dan lembaga-lembaga internasional.
Hubungan internasional; sebetulnya
jika hubungan antar negara merupakan hubungan internasional, jelas istilah
tersebut sangat menyesatkan bagi sebagai disiplin ilmu politik yang memfokuskan
pada hubungan lintas negara dan inter-negara dalam diplomasi, transaksi
ekonomi, serta perang maupun damai. Asal-usul hubungan internasional terdapat
dalam karya para teolog, yang mengajukan argumen tentang kapan dan bagaimana
perang itu dianggap adil, seperti karya Grotius, Pufendorf, dan Vattel, yang
mencoba menyatakan bahwa ada hukum bangsa-bangsa yang sederajat dengan hokum
domestik negara-negara, dan karya karya para filsuf politik seperti Rousseau
dan Kant, yang membahas kemungkinan perilaku moral dalam perang dan kebutuhan
akan tatanan internasional yang stabil dan adil.
Sub-bidang ilmu politik ini
memfokuskan pada masalah-masalah yang beragam menyangkut organisasi-organisasi
internasional, ekonomi-politik internasional, kajian perang, kajian perdamaian,
dan analisis kebijakan luar negeri. Namun secara normatif terbagi dalam dua
mazhab pemikiran yaitu pemikiran idealis dan pemikiran realis. Pemikiran
idealis mempercayai bahwa negara dapat dan harus melaksanakan urusan-urusan
mereka sesuai dengan hukum dan moralitas serta kerjasama fungsional lintas
batas negara membentuk landasan bagi perilaku moral. Sedang dalam mazhab realis
sebaliknya; mereka percaya bahwa negara pada dasarnya amoral dalam kebijakan
luar negerinya; hubungan antar negara diatur bukannya oleh kebaikan tetapi
kepentingan; perdamaian adalah hasil dari kekuasaan yang seimbang, bukannya
tatanan normative dan kooperatif fungsional.
