Filsafat Alam dalam Ilmu Kalam
Filsafat Alam dalam Ilmu Kalâm
Pendahuluan
Filsafat
alam (Philosophy of Nature/Al-Falsafah Al-Thabî‘ìyah/Falsafah
Al-Thabî‘ah/Al-Thabî‘îyât) adalah filsafat yang berusaha untuk
menjelaskan kejadian alam, sifat-sifatnya dan hukum-hukumnya secara teoritis
dan menyeluruh.
Pada
masa lalu filsafat alam tidak dapat dipisahkan dengan ilmu-ilmu eksakta.
Filsafat alam adalah ilmu-ilmu eksakta itu sendiri bagi orang Yunani, atau dia
adalah ilmu alam yang menjadi lawan dari etika, metafisika dan estetika. Pada
masa itu filsafat alam mencakup isi buku-buku yang dikarang oleh
Aristoteles (384-322 SM) seperti: Al-Simâ‘ Al-Thabî‘î yang berbicara
tentang gerak, waktu dan tempat; Al-Nafs yang membahas tentang
kehidupan dengan berbagai bentuknya; Al-Kawn wa Al-Fasâd yang berisi
tentang kejadian benda dan kehancurannya; dan Al-Hayawân yang memuat
studi ilmiah tetang binatang. Selain itu filsafat alam juga mencakup
Holyzoisme, yaitu teori yang memandang bahwa alam semesta adalah sesuatu yang
hidup dan berakal.
Filsafat
alam yang dimiliki oleh bangsa Yunani ini kemudian berpindah ke Arab dan Barat
dengan pengertian yang tak jauh berbeda. Bahkan sampai abad XVIII yang dimaksud
dengan filsafat alam di Barat tak lain adalah ilmu-ilmu eksakta. Baru pada
perkembangan terakhir—di saat cabang-cabang ilmu menemukan kemerdekaan dan
melepaskan diri dari induknya (filsafat)—dapat dipisahkan antara ilmu-ilmu
eksakta dan filsafat alam.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat alam (dengan pengertian klasik)
adalah cikal bakal bagi lahirnya ilmu-ilmu eksakta modern. “Filsafat alam
adalah ‘al-salaf al-târîkhî al-mubâsyir (preseden historis langsung)’,
dan dalam waktu yang bersamaan adalah akar yang sangat kuat—dalam bangunan
peradaban—bagi ilmu-ilmu eksakta yang saat ini menempati posisi yang paling
strategis dalam bangunan ilmu modern.”
****
Salah
satu pertanyaan yang saat ini banyak menyibukkan para peneliti—baik di Barat
maupun di Timur—adalah ‘apakah yang melatarbelakangi gagalnya peradaban Arab
(dan Cina) dalam melahirkan ilmu pengetahuan, sementara Barat yang mengalami
keterlambatan yang sangat lama dalam hal ini justru mampu menjadikan dirinya
sebagai kiblat perkembangan sains dan teknologi?’
Peradaban
Arab sebenarnya telah lebih dulu mengenal berbagai cabang ilmu, seperti
matematika, astronomi dan kedokteran sampai abad XIII, di saat Barat masih
tenggelam dalam kebodohan. Hanya saja kemajuan dalam beberapa bidang ilmu ini
tiba-tiba terhenti, untuk kemudian diambil alih oleh Barat. Dalam bidang
astronomi misalnya, para astronom Arab—yang dipelopori oleh Ibnu Syâthir—sejak
abad XI sampai abad XIV telah melakukan berbagai macam penelitian yang
bertujuan untuk memperbaiki astoronomi Ptolemy yang didirikan atas dasar
geosentris. Hanya saja Ibn Syâthir dan astronom-astronom Arab yang datang
setelahnya gagal dalam mengembangkan astronomi dengan asas heliosentris, sebuah
pekerjaan yang berhasil digarap dengan apik oleh Copernicus yang
datang satu setengah abad setelah Ibnu Syâthir. Penyebab utama kegagalan Ibnu
Syâthir dan kawan-kawannya ini, menurut Toby E. Huff, adalah karena para
astronom Arab tersebut tidak mendapatkan ruh yang mampu menjadikan mereka
berani untuk keluar dari pandangan umum agama—yang berkembang pada saat
itu—terhadap hukum-hukum yang mengatur alam.
Kalau
pendapat E. Huff di atas benar, maka dapat disimpulkan bahwa gagalnya bangsa
Arab Islam dalam mengembangkan sains tidak dapat dilepaskan dari
keyakinan-keyakinan agama yang mereka miliki. Ilmu Kalâm dalam hal ini
memegang peranan yang sangat penting, karena dia adalah ilmu yang lahir dan
berkembang sebelum abad terjemah, sehingga memiliki akar yang sangat kuat dalam
peradaban Islam. Ilmu Kalâm merupakan usaha pertama yang dilakukan
oleh umat Islam dalam memahami dan menjelaskan teks-teks agama dengan
menggunakan akal. Dan lebih dari itu ilmu Kalâm adalah ideologi bagi
umat Islam yang menggambarkan keyakinan-keyakinan yang dimilikinya dan
menjadikannya sebagai umat yang mempunyai kepribadian tersendiri. Sementara
filsafat Islam (Al-Hikmah)—meskipun banyak dipengaruhi oleh
filsafat Yunani—tak lain adalah perpanjangan dari Kalâm.
Alam Dalam Pandangan Kalâm Klasik
Berbeda
dengan anggapan umum yang selama ini berkembang, filsafat alam memakan porsi
yang cukup besar dalam pembahasan ilmu Kalâm, walapun dia bukanlah
merupakan permasalahan terbesar dan tema terpenting dalam buku-buku Kalâm.
Menurut
mutakallimîn (pakar ilmu Kalâm), alam adalah segala yang ada
selain Tuhan atau ‘Al-Lathâ’if” (=kosmos) atau “‘Âlam Al-Syahâdah”
(=alam yang terindera) atau dengan bahasa modern: alam fisika. Ada dua
cara yang dapat kita gunakan untuk membahas ilmu Kalâm: pertama,
dengan mengkaji golongan-golongannya; dan kedua, dengan mengkaji
materi-materinya. Dengan cara terakhir, kita dapatkan bahwa materi ilmu Kalâm
ada enam, yaitu: al-Tawhîd (masalah keesaan Allah), al-Qadr
(masalah ketentuan/takdir), al-Îmân (masalah keimanan), al-Wa‘îd (masalah
ancaman bagi pelaku dosa) dan al-Imâmah (masalah kepemimpinan umat).
Kalau
diklasifikasikan, Al-Lathâ’if Al-Ilâhîyah (=materi yang berkenaan
dengan theologi) mencakup al-Tawhîd dan al-Qadr; Al-Sam‘îyât
mencakup al-Îmân, al-Wa‘îd dan al-Imâmah; sedangkan Al-Lathâ’if
membahas tentang al-Mâdah (materi), Al-Jism (organ),
gerak, waktu dan tempat, atau materi-materi alam fisika. Oleh karena itulah Al-Lathâ’if
dalam Kalâm dikenal sebagai “Daqîq Al-Kalâm” (materi
ilmu yang bersifat rumit) yang merupakan lahan bagi akal semata, dan merupakan
kebalikan dari “Jalîl Al-Kalâm” (materi ilmu y ang bersifat
sakral) atau keyakinan-keyakinan yang hanya bisa diketahui dari kitab Allah.
Atas
dasar di atas, para teolog Islam banyak menyibukkan diri dalam Al-Lathâ’if,
dan ini merupakan awal dari persentuhan akal Islam dengan alam fisika.
Tumbuhnya pemikiran ilmiah di antara pemikiran agama ini menjadikan peradaban
Islam berbeda dengan peradaban Barat. Dalam Islam gerakan berpikir ilmiah sama
sekali tidak bertentangan dengan agama, bahkan semua itu berada di bawah
naungan agama. Inilah yang memberi kesempatan bagi para ilmuwan Islam pada
masanya untuk dapat memberi sumbangan bagi perkembangan sains pada abad
pertengahan di saat Barat masih tenggelam dalam kegelapan. Namun, gerakan
ilmiah itu kemudian terhenti karena begitu mendominasinya pemikiran agama. Dan
inilah yang akan kita bicarakan pada paragraf-paragraf berikut.
****
Alam
fisika di tangan mutakallimîn telah berubah menjadi Al-Jawâhir
(inti-inti substansial) dan Al-A‘râdh (aksiden-aksiden yang terjadi
pada organ inti), yang diambil dari teori atom klasik. Kemudian Al-Jawâhir
dan Al-A‘râdh berubah menjadi ontologi ilmu Kalâm atau dasar
pandangan mutakallimîn terhadap alam. Dengan cara mereka, para mutakallimîn
menetapkan bahwa alam itu berubah-ubah karena perubahan yang terjadi pada Al-A‘râdh.
Oleh karena itulah alam ini “Hâdits” (baharu) atau dia
adalah ciptaan Allah.
Dalîl
Al-Hudûts
(argumentasi tentang kebaharuan) atau keberadaan alam yang “Hâdits”
sebagai bukti keberadaan Allah yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui bukan saja
merupakan sesuatu yang disepakati oleh para teolog Islam, tapi juga umat Islam
semuanya. Oleh karena itu, alam bagi mutakallimîn tak lebih dari tanda
keberadaan sesuatu yang ada di balik alam itu, yaitu Tuhan. Dan ini sesuai
dengan makna akar kata alam yang terambil dari kata “‘Alam” yang
berarti tanda yang menunjukkan keberadaan pemilik tanda tersebut.
Permasalahan
utama yang dihadapi oleh para teolog Islam adalah hubungan antara Allah dengan
alam. Allah adalah Pencipta alam, menjadikannya ada dari tidak ada. Inilah yang
terpenting yang terdapat dalam Dalîl Al-Hudûts. Dari sini kita melihat
bahwa Dalîl Al-Hudûts pada dasarnya adalah Qiyâs Al-Ghâib ‘alâ
Al-Syâhid (sillogisme ontologis antara sesuatu yang tidak terlihat dengan
sesuatu yang bisa terindera), dan ini sebenarnya adalah salah satu bentuk dari
cara berpikir ilmiah empiris.
Inilah
yang menyebabkan mutakallimîn pada periode awal begitu memperhatikan
materi-materi ilmu fisika. Hanya saja di sisi lain Dalîl Al-Hudûts itu
sendirilah yang menjadikan pembahasan terhadap alam dalam ilmu Kalâm
terjebak dalam lingkaran tertutup, yang pada gilirannya mengakibatkan
terpisahnya ilmu Kalâm dari pembahasan terhadap alam. Pemikiran
agamalah yang selanjutnya kembali mendominasi. Sementara pemikiran ilmiah yang
baru tumbuh ibarat janin yang digugurkan secara terpaksa.
Lingkaran
tertutup dalam Dalîl Al-Hudûts itu disebabkan karena alam bagi mutakallimîn
tak lebih dari sekedar tangga untuk mencapai akidah; alam hanyalah sebagai
alat untuk membuktikan keberadaan Tuhan dan bukan untuk kepentingan manusia,
padahal manusialah yang hidup di alam dan membutuhkannya. Inilah yang
menyebabkan filsafat alam di dalam pemahaman Kalâm klasik sama sekali
keluar dari permasalahan epistimologi, dan hanya berkutat pada permasalahan
ontologi, yaitu bahwa kehudûtsan alam membuktikan keberadaan
Tuhan.
Dalîl
Al-Hudûts inilah
yang menjadi kerangka bagi filsafat alam yang terdapat dalam ilmu Kalâm,
baik secara keseluruhan maupun bagian-bagiannya. Inilah yang menjadikan
ketuhanan sebagai akhir dan tujuan, sebagaimana dia adalah awal dan titik
tolak, sehingga pembahasan terhadap alam terjebak dalam lingkaran tertutup dari
teologi menuju ontologi dan sebaliknya.
****
Teolog
yang pertama kali memanfaatkan teori atom untuk membuktikan kehudûtsan
alam adalah Abû Al-Hudzayl al ‘Allâf, seorang teolog Mu’tazilah yang hidup
antara tahun 135-226 H. Abû Al-Hudzail mengganti istilah atom dengan istilah
baru yang islami, yaitu Al-Jawhar Al-Fard (individuum corpus,
benda utuh yang terkecil). Madzhab Jawhar Al-Fard ini kemudian diikuti
oleh semua Mu’tazilah—kecuali beberapa orang—dan asyâ‘irah, bahkan
madzhab ini sempurna di tangan yang terakhir disebut ini.
Secara
umum dapat dikatakan bahwa Jawhar Al-Fard adalah pondasi dasar bagi
filsafat alam dalam Kalâm, sampai sebagian orang menyebut bahwa Kalâm
adalah aliran filsafat yang berbicara tentang asas atom. Hanya saja hal
ini tidak berarti bahwa teori Jawhar Al-Fard adalah semata-mata
pindahan dari teori atom. Teori atom adalah teori yang mencoba memahami dan
mentafsirkan alam. Sedangkan teori Jawhar Al-Fard adalah terori yang
berusaha menjelaskan hubungan alam dengan Penciptanya, berawal dari keberadaan
Allah dan berakhir pada penetepan kekuasaan dan pengetahuan-Nya yang meliputi
segalanya. Oleh karena itulah teori Jawhar Al-Fard terjebak dalam
lingkaran tertutup dari teologi menuju ontologi dan sebaliknya (Allah =>
alam => Allah).
Atom
di tangan para filosof Yunani bergerak dengan gerakan yang tak berakhir.
Gerakan inilah yang menjadikan alam menjadi sesuatu yang mekanis yang terdiri
dari perpaduan antara atom-atom yang menyusunnya, sehingga tidak membutuhkan
penciptaan Tuhan. Sedangkan di tangan para teolog Islam—baik Mu’tazilah maupun Asyâ‘irah—
Jawhar Al-Fard adalah sesuatu yang hâdits, yang
diciptakan oleh Allah. Al-‘Allâf telah menambahkan sifat ‘diam’ kepada atom
Yunani, hal ini tidak diakui oleh Democritus. Konsep ‘diam’ bagi Al ‘Allâf
adalah penolakan terhadap konsep perpaduan atom dalam teori atom Yunani dan
merupakan penegasan bagi penciptaan Tuhan. Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa teori Jawhar Al-Fard tak lain adalah penetapan keberadaan Tuhan,
bahkan dia adalah penetapan terhadap penciptaan alam yang terus-menerus oleh
Tuhan.
****
Sebagaimana
disinggung sebelumnya, filsafat Islam (Al-Hikmah) tak lain
adalah perpanjangan dari Kalâm. Jalan yang ditempuh oleh filsafat
Islam memang relatif berbeda dengan Kalâm. Hanya saja keduanya
sebenarnya adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam naungan
peradaban Islam. Kalâm tak lebih dari kegiatan berpikir filsafatis
terhadap permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh wahyu. Dan pada
saatnya Kalâm juga banyak menggunakan logika yang menjadi dasar utama
filsafat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam sebenarnya adalah
perkembangan dari Kalâm yang telah mencapai kematangan.
Dari
sini dapat kita pahami bahwa kita tidak dapat memahami Kalâm tanpa
filsafat, demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, pembicaraan tentang
filsafat alam dalam Kalâm tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan
tentang filsafat alam dalam Al-Hikmah.
Secara
umum dapat dijelaskan bahwa pembahasan tentang alam di tangan para filosof
menjadi lebih jelas dan terarah jika dibandingkan dengan mutakallimîn.
Mereka (para filosof Islam) semua sepakat bahwa materi Al-Hikmah mencakup
tiga aspek: logika, alam dan teologi. Di tangan para filsuf, alam tak lagi hâdits.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh filsafat Yunani yang tidak bisa membayangkan
keberadaan alam dari tidak ada. Oleh karena itu para filsuf kemudian menerima
dan mengembangkan teori emanasi (pancaran) sebagai ganti dari Jawhar
Fard. Hanya saja hal ini tak mampu membebaskan alam dari permasalahan
ontologi yang mengarah pada teologi dan sebaliknya dalam lingkaran tertutup.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pandangan yang dimiliki oleh para filsuf Islam
terhadap alam pada hakikatnya tidak berbeda dengan pandangan yang dimiliki oleh
mutakallimîn.
Menuju Kalâm Masa Depan
Dari
uraian di atas tampak jelas bahwa bila dipandang dari kaca mata filsafat ilmu
modern, ilmu Kalâm banyak sekali memiliki sisi-sisi negatif. Dengan
kata lain, pandangan ilmu Kalâm terhadap alam menjadikan perjalanan
sains yang semula tumbuh subur dalam naungan peradaban Islam terhenti bahkan
hilang sama sekali. Namun demikian, ini bukan berarti bahwa Kalâm kehilangan
sisi positif sama sekali. Sebagai aktifitas paling pertama dalam memahami wahyu
dengan menggunakan akal sebelum masuknya pengaruh luar, Kalâm memiliki
akar yang sangat kuat bagi pembentukan pola pikir muslim. Bahkan dapat
dikatakan bahwa Kalâm adalah merupakan perwujudan dari apa yang disebut
sebagai ‘Al-‘Aql Al-‘Arabî Al-Shamîm’ (produk pemikiran yang paling
orisinal).
Oleh
karena itu yang dibutuhkan sekarang adalah pembaharuan Kalâm, dengan
tetap memperhatikan sisi-sisi positif yang dimilikinya. Pembaharuan adalah
sunnah kehidupan. Semua yang ada di jagad raya berubah dari waktu ke waktu
menuju kondisi yang lebih baik. Manusia dan pemikiran-pemikirannya pun tak
luput dari sunnah ini.
Kalau
kita buka lembaran sejarah, perubahan dan pembaharuan dalam Kalâm ini
bukanlah merupakan sebuah hayalan, tapi benar-benar merupakan sesuatu yang
terjadi dalam kehidupan. Sejak abad pertama berdirinya peradaban Islam banyak
sekali pertentangan dan perbedaan pendapat seputar masalah akidah. Bahkan di
antara sekian banyak pertentangan tersebut banyak sekali yang menimbulkan
pertumpahan darah. Kita tentu bukan bermaksud mengulangi sejarah kelam masa
lalu tersebut, tapi kita di sini hanya ingin menunjuk bahwa perubahan dalam
bidang akidah tersebut merupakan sesuatu yang benar-benar terjadi, bahkan pada
saat-saat awal lahirnya Islam. ‘Perkembangan akidah itu mungkin terjadi, bahkan
dia sekarang adalah merupakan sesuatu yang wajib.’
****
Yang
pertama sekali harus disadari dalam pembaruan ilmu Kalâm ini adalah
bahwa Kalâm klasik tak lebih adalah produk sejarah yang timbul sebagai
jawaban atas kondisi yang ada pada saat itu. Di sinilah tampak pentingnya
membedakan antara akidah dan Kalâm. Keyakinan-keyakinan yang berkenaan
dengan Tuhan (akidah) bersifat tetap, suci dan tidak dapat diubah-ubah,
sementara ilmu Kalâm tidaklah demikan halnya. Ilmu Kalâm
murni bersifat manusiawi, diciptakan oleh manusia dalam ruang dan waktu
tertentu dengan kondisi yang tertentu pula.
Tanpa
menyadari keberadaan ilmu Kalâm dengan pemahaman di atas, sangat
mungkin sekali kita terjebak dalam apa yang disebut oleh F. Bacon sebagai idols
of theatre (Awhâm Al-Masrah), yaitu kesalahan-kesalahan
yang disebabkan karena kepercayaan yang berlebihan terhadap apa yang ditulis
oleh para pendahulu. Idols of theater ini disebabkan ketidakmampuan
kita dalam membedakan antara yang nisbi dan yang mutlak. Kalâm adalah
hasil pemikiran manusia. Oleh karena itu dia bersifat nisbi dan bisa
berubah-ubah sesuai tuntutan kondisi.
“…
Sikap kita terhadap turats bukan hanya sebagai pemindah saja. Mereka
manusia, kita juga manusia. Kita belajar dari mereka dan bukan sekedar
mengikuti mereka. Sikap kita adalah sikap sseorang peneliti dan pengkritik.
Apabila mereka memilih sesuatu, maka kita memilih sesuatu yang lain, karena
memang kondisi yang berubah. Mereka dulu melakukan ekspansi, sementara kita
adalah korban ekspansi. Mereka memberikan prioritas kepada naql,
sementara kita memberikannya kepada akal. Mereka mengutamakan iman dan kita
mengutamakan amal. Mereka mengedepankan ketuhanan, sementara kita mengedepankan
kemanusiaan. Dalam fiqih mereka mementingkan ibadah karena memang agama masih
baru, sedangkan kita lebih mementingkan kerja (amal) karena percaturan politik
dan ekonomi yang ada saat ini.”
Dengan
sikap seperti di atas, kita tidak akan menemukan hubungan antara Kalâm baru
dan Kalâm klasik sebagai ketersambungan yang bersifat negatif, yang
menjadikan klasik sebagai subyek dan baru sebagai obyek, atau yang menjadikan
para pendahulu sebagai pewasiat dan kita sebagai pendengar saja. Tapi dalam
waktu yang bersamaan hubungan tersebut juga bukan merupakan keterputusan yang
menjadikan Kalâm baru tumbuh dari kekosongan. Dialektika antara
ketersambungan dan keterputusan inilah yang menjadikan Kalâm masa
depan sebagai kendaraan yang sempurna untuk mencapai kemjuan di masa yang akan
datang.
****
Dialektika
antara ketersambungan dan keterputusan ini sangat erat kaitannya dengan Al-Qathî‘ah
Al-Ma‘rifîyah (La Rupture Epistemologique) yang dicetuskan oleh G.
Bachleard (1884-1962). Tokoh filsafat ilmu berkebangsaan Perancis ini meletakkan
Al-Qathî‘ah Al-Ma‘rifîyah (keterputusan epistemologis) dalam kerangka
filsafat dialektik antara ada-tidak ada dan antara ketersambungan-keterputusan,
demi terjadinya pertambahan kualitatif dalam bangunan ilmu dan bukan sekedar
pertambahan kuantitatif. Al-Qathî‘ah Al-Ma‘rifîyah didasarkan pada
hukum dialektika yang terkenal: ‘pertambahan kuantitas menyebabkan perubahan
kualitas’.
Menurut
teori Al-Qathî‘ah Al-Ma‘rifîyah, perkembangan ilmu didasarkan pada
pemutusan hubungan dengan masa lalu, tapi bukan dalam arti mengingkarinya. Hal
yang terakhir disebut ini tidak pernah terjadi dalam perkembangan ilmu. Newton
misalnya, dengan jujur mengakui bahwa dia tampak begitu tinggi karena berdiri
di atas pundak para pendahulunya. Al-Qathî‘ah Al-Ma‘rifîyah memberi pemahaman
bahwa apa yang ada hari ini bukanlah sekedar kelanjutan mekanis atau tambahan
kuantitatif terhadap apa yang ada pada masa lalu. Kemajuan berdasarkan Al-Qathî‘ah
Al-Ma‘rifîyah berarti membuat jalan baru yang belum pernah dilakukan oleh
para pendahulu, baik karena kondisi yang belum menuntut adanya hal itu maupun
karena keterbatasan cara berpikir mereka. Contoh yang diberikan oleh Bachleard
dalam hal ini adalah penemuan lampu listrik. Lampu listrik bukan sekedar
kelanjutan dari cara-cara penerangan klasik yang didasarkan pada pembakaran,
tapi dia adalah merupakan pemutusan terhadap semua cara lama dengan menciptakan
penerangan yang sama sekali tidak didasarkan pada pembakaran.
****
Lalu
bagaimanakah bentuk ilmu Kalâm baru setelah dipersenjatai dengan Al-Qathî‘ah
Al-Ma‘rifîyah ini? Sebagaimana disebut di awal, tujuan yang ingin dicapai
oleh Kalâm klasik adalah pembuktian akidah. Pada masa awal lahirnya,
Islam banyak sekali menghdapi serangan pemikiran, baik dari dalam maupun dari
luar. Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya Kalâm klasik sebagai
usaha untuk mempertahankan keyakinan agama. Kalau kita lihat kondisi kita
sekarang, ancaman yang dihadapi oleh para pendahulu kita tersebut sudah hampir
tidak ada, atau setidaknya sangat sedikit sekali. Kondisi yang ada pada kita
sekarang adalah kebalikan dari kondisi yang ada pada para pendahulu kita. Oleh
karena itu pada masa sekarang, kita tidak menjadikan pembuktian akidah sebagai
tujuan, tapi justru kita berangkat dari akidah yang sudah mapan menuju pengejewantahan
manusia muslim dalam peradaban masa kini dan masa yang akan datang. Jika dalam Kalâm
klasik manusia dan alam dijadikan sebagai muqaddimah untuk
membuktikan keberadaan Tuhan Yang Esa, maka dalam Kalâm baru Allahlah
yang kita jadikan sebagai titik tolak dalam usaha untuk mewujudkan eksistensi
manusia dalam perjalanan sejarah.
Dalîl
Al-Hudûts
yang menjadi pondasi dasar Kalâm klasik telah menjadikan pembahasan
terhadap alam sebagai permasalahan ontologi. Maka tugas Kalâm baru
adalah mengubah (mengembalikan) pembahasan terhadap alam ini sebagai
permasalahan epistimologi. Dengan kata lain Kalâm baru harus memandang
alam bukan sekedar sebagai bukti keberadaan Tuhan, tapi dengan tujuan untuk
memahami, mentafsirkan, mengadakan prediksi dan eksploitasi bagi kemajuan
manusia. Dan untuk itu Kalâm baru harus berani melepaskan diri dari
pendahulunya yang menjadikan alam terjebak dalam lingkaran tertutup antara
ontologi dan teologi.
Kalau
kita perhatikan perkembangan ilmu di Barat, pada awalnya kegiatan ilmiah sama
sekali tidak terpisah dari keyakinan agama. F. Bacon misalnya berkeyakinan
bahwa apa yang dilakukannya dan para ilmuwan semasanya tak lain adalah usaha
untuk memperlajari ‘Taurat Alam’ untuk membuktikan kekuasaan Tuhan yang
terdapat pada ciptaannya. Hanya saja, usaha hal ini sama sekali tidak
menghalangi mereka untuk melindungi ilmu dari campur tangan Tuhan.
Usaha
untuk berpindah dari membaca kita suci menuju kitab alam ini sebenarnya sudah
lebih dulu dilakukan oleh umat Islam. Tapi semua itu jadi tidak berarti di saat
umat Islam gagal meletakkan alam dalam kerangka epistimologi dan terjebak dalam
lingkaran tertutup yang menjadikan alam hanya sekedar sebagai alat untuk
mengenal Tuhan.
Ilmu
pada masa sekarang ini bukan lagi ‘membaca kitab alam’ untuk mengetahui
hukum-hukum pasti yang ada di dalamnya (determinisme). Tapi ilmu menurut
epistemologi modern adalah ‘hipotesa-hipotesa jenius yang berhasil dibuktikan
melalui percobaan’. Dan tugas Kalâm baru adalah meletakkan alam dalam
kerangka epistemologi modern ini. Kalâm baru harus mampu memberi
kebebasan yang seluas-luasnya bagi perkembangan ilmu, karena sebagai hasil
cipta rasa manusia ilmu akan terus berkembang secara vertikal dan berubah dari
waktu ke waktu.
Yang
tidak boleh berubah adalah kepribadian kita sebagai muslim. Sebagai peradaban
yang bersumber dari wahyu kita harus tetap berpegang pada tauhid yang
menjadikan Allah, manusia dan alam dalam satu kesatuan. Ini adalah identitas
kita yang harus kita pertahankan secara terus-terus menerus, dengan syarat
tidak menghalangi kita untuk mengkaji alam dalam kerangka epistemologi.
Apabila
ini mampu dilakukan oleh Kalâm baru, maka berarti dia telah mampu
melaksanakan tugasnya menjadikan wahyu sebagai syari’at yang bertujuan untuk
menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Daftar Pustaka:
- Al Khûly, Yumnâ Tharîf, Dra., Al Thabî‘iyyât Fî‘Ilmi’l Kalâm, Dâru’l Qubâ’, Kairo, 1998.
- Al Khûly, Yumnâ Tharîf, Dra., Amîn al Khûly: Al Ab‘âd al Falsafiyah fi al Tajdîd, Dâru’l Ma‘ârif, Kairo, 2000.
- Al Khûly, Amîn, Al Mujaddidûn fi al Islam, Maktabatu’l Usrah, Kairo, 2001.
- Huff , Toby E., Fajru’l ‘Ilmi’l Hadîts, Âlamu’l Ma‘rifah, Kwait, cet. II, 2000.
- Hanafy, Hasan, Dr., Al Dîn Wa al Taharrur al Tsaqâfy, Maktabah Madbûly, Kairo, 1988.
- Mahmûd, Zaky Najîb, Dr., Al-Manthiq Al-Wadl‘iy, juz II, Maktabah Anglo Al-Mishriyah, Kairo, cet. II, 1961.
- …, Falsafatu al Thabî‘ah, dalam Al-Mausû‘ah al Falsafiyah al-‘Arabiyyah, ed. Mu‘sin Ziyâdah, jilid II, Ma‘hadu’l Inmâ’ al ‘Araby, 1988, cet. I.