HUBUNGAN ANTARA
FILSAFAT ILMU DENGAN EPISTEMOLOGI
Filsafat dan ilmu merupakan dua kata yang saling
terkait baik secara substansial, maupun historis karena kelahiran ilmu tidak
lepas dari peranan filsafat, begitu pula sebaliknya perkembangan ilmu
memperkuat keberadaan filsafat itu sendiri. Filsafat telah berhasil mengubah
pola pemikiran Bangsa Yunani dan umat manusia dari pandangan mitosentris menjadi
logosentris. Sebelum kita mencari hubungan antara filsafat ilmu dengan
epistemologi, alangkah baiknya kita mengenal beberapa pendapat para ahli
tentang pengertian filsafat ilmu, yaitu sebagai berikut.
Menurut A.Cornelius Benjamin berpendapat, “That philosopic
disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of
its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general
scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafat yang
merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya,
konsep-konsepnya, dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka
umum cabang-cabang pengetahuan intelektual).
Robert Ackerman berpendapat “Philosophy of science
in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to
proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a discipline
autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi
adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dengan
perbandingan terhadap pendapat-pendapat lampau yang telah dibuktikan atau dalam
kerangka kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian
itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari
praktek ilmiah secara actual).
Menurut May Brodbeck berpendapat, “Philosophy of
science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and
clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan
filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu).
Michael V. Berry “The study of the inner logic if
scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e. of
scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori
ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode
ilmiah).
Berdasarkan pendapat di atas, diperoleh gambaran bahwa
filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan
mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun
aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari
epistemologi yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu.
Filsafat ilmu adalah cabang dari epistemologi.
Epistemologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno, yaitu episteme yang
artinya pengetahuan dan logos yang artinya teori (Anonym, 2007). Secara
etimologi berarti teori tentang pengetahuan. Menurut Langeveld (1961)
Epistemologi membicarakan hakikat pengetahuan, unsur-unsur dan susunan berbagai
jenis pengetahuan, pangkal tumpuannya yang fundamental, metode-metode dan
batasannya (Anonym, 2009). Sebagai cabang dari filasafat ilmu, epistemologi
dapat menyangkut masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu
pengetahuan atau bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat,
dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan
sebuah model filsafat. Aspek epistemologi adalah kebenaran fakta atau kenyataan
dari sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang dapat dibuktikan
kembali kebenarannya. Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu
cabang dari filsafat ilmu yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan
pondasi, alat, tolak ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, serta
pengetahuan manusia. Sedangkan filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan
campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan
timbal-balik dan saling berpengaruh antara filsafat dan ilmu. Menurut The
Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap
persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun
hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Sehubungan dengan
pendapat tersebut bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat
pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu
setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa
meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan
untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie
J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang
selalu berubah.
ASUMSI BEBERAPA JENIS OBJEK ILMU
Saat ini kita sudah memasuki masa spesialisasi ilmu.
Kita hanya mengetahui metodologi masing-masing ilmu kejuruan. Namun kita juga
harus mempunyai wawasan yang luas tentang metodologi ilmu-ilmu pada umumnya
yang di dalamnya dijabarkan perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara
masing-masing ilmu. Dalam khasanah filsafat ilmu kita mengenal banyak bentuk
ilmu, jenis ilmu, dan paradigma ilmu. Dari berbagai bentuk, jenis, dan
paradigma ilmu tersebut maka kita dapat memperoleh gambaran adanya ragam,
tingkat, dan aliran ilmu.
a. Ilmu Alam dan Empiris
Ilmu empiris berpandangan bahwa ilmu mempelajari
objek-objek empiris di alam semesta serta mempelajari berbagai gejala dan
peristiwa yang menurut anggapannya mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia.
Maka dari itu, berdasarkan objek telaahnya ilmu dapat disebut sebagai suatu
pengetahuan empiris. Ilmu membatasi diri hanya pada kejadian yang bersifat
empiris, dimana objek-objek yang berada di luar jangkauan pengalaman manusia
tidak termasuk bidang penelaahan ilmu (Yuyun, 1981: 6) dalam (Tim Dosen
Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 48). Ilmu empiris mempunyai beberapa
asumsi mengenai objek (empiris) seperti:
- Menganggap suatu objek mempunyai kesamaan satu dengan yang lain, yaitu dalam hal bentuk, struktur, maupun sifat.
- Menganggap setiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Setiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang sama (Jujun, 1981:7-8 dalam Harmadi, 2009).
- Menganggap suatu benda tidak mungkin mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu.
b. Ilmu Abstrak (Simbolik)
Ilmu formal seperti halnya matematika, logika,
filsafat, dan statistika adalah jenis ilmu yang berfungsi sebagai penopang
tegaknya ilmu-ilmu lainnya. Ilmu yang tergolong formal pada umumnya berasumsi
bahwa objek ilmu adalah bersifat abstrak, tidak kasat mata, dan tidak terikat
oleh ruang dan waktu. Objek dapat berupa konsep dan bilangan, ia berada dalam
pemikiran manusia.
c. Ilmu-Ilmu Sosial dan Kemanusiaan
Ilmu sosial merupakan ilmu empiris yang mempelajari
manusia dalam segala aspek hidupnya. Objek material ilmu sosial berbeda dengan
objek material dalam ilmu alam yang bersifat determistik. Objek material ilmu
sosial berupa tingkah laku dalam tindakan yang khas manusia. Ilmu sosial
bersifat bebas dan tidak bersifat determistik. Ilmu sosial mengandung pilihan,
tanggung jawab, makna, pengertian, pernyataan privat dan internal, konvensi,
aturan, dan motif.
d. Ilmu Sejarah
Ciri ilmu sejarah dibandingkan dengan ilmu empiris
lainnya adalah sifat objek materialnya, berupa data-data peninggalan masa
lampau, baik berupa alat-alat, kuburan, rumah, tulisan, dan karya seni. Semua
ini mirip dengan objek material ilmu kealaman karena sama-sama sebagai benda
mati. Namun, objek ilmu sejarah tidak dapat dikenai eksperimen karena
menyangkut masa lampau dan tidak dapat dibalikkan lagi.
TARAF-TARAF KEPASTIAN SUBJEKTIVITAS DAN OBJEKTIVITAS
ILMU
Adapun Taraf-Taraf Kepastian Subjektivitas dan
Objektivitas Ilmu adalah sebagai berikut:
a. Evidensi
Evidensi objek pengetahuan berkenaan dengan taraf
kepastian pengetahuan yang dapat dicapai subjek. Taraf-taraf kepastian subjek
dan ilmu-ilmu terjadi berdasarkan evidensi objek yang dikenal. Evidensi dan
kepastian itu perlu dilihat dari sudut kesatuan subjek dan objek dalam gejala
pengetahuan manusia pada umumnya. Misalnya, dalam filsafat, evidensi objek
bersangkutan dialami subjek dengan cara mendalam, dengan demikian, mutu
kepastian adalah meyakinkan dan paling tinggi, paling bebas, sekaligus paling
pribadi.
- Ilmu-Ilmu Empiris
Semua ilmu empiris, termasuk ilmu-ilmu kemanusiaan,
mengejar kepastian. Namun taraf kepastian konkret dalam ilmu-ilmu empiris
bersifat bebas. Artinya, tidak pernah ada paksaan pada akal agar sesuatu
disetujui. Dengan kata lain, evidensi dalam ilmu-ilmu empiris selalu bersifat
nisbi. Akibatnya, kepastian tersebut juga bersifat nisbi, sehingga perlu
disetujui berdasarkan pilihan bebas tanpa paksaan.
Semakin dekat bidang ilmu tertentu pada pengalaman
manusia seutuhnya, maka semakin besar kesatuan subjek-objek, dan semakin besar
peran subjek dalam kesatuan itu. Jadi, evidensi dan kepastian diwarnai
subjektivitas yang membangun. Misalnya dalam filsafat dan humaniora lainnya.
Semakin jauh bidang ilmu tertentu dari pengalaman manusia seutuhnya, maka
semakin kurang kesatuan subjek-objek, dan semakin kurang pula peran subjek
dalam kesatuan itu. Jadi, evidensi dan kepastian lebih diwarnai oleh
objektivitas (di luar pengalaman subjektif). Misalnya, dalam ilmu-ilmu alam.
- Ilmu-ilmu Pasti
Dalam context of discovery sebagaimana ilmu
yang lain, ilmu pasti pun masih dalam taraf coba-coba. Sedangkan dalam taraf context
of justification, tidak ada hipotesa lagi, tetapi hanya ungkapan-ungkapan
yang bersifat aksiomatis dan dalil-dalil. Hal ini berlaku tanpa terikat ruang
dan waktu. Memang ilmu-ilmu pasti tidak bersifat empiris, sehingga sifat
evidensinya bersifat mutlak.
b. Objektivitas
Ilmu dikatakan objektif karena ilmu mendekati
fakta-faktanya secara metodis. Artinya menurut cara penelitian yang
dikembangkan oleh subjek yang mengenal. Misalnya, ilmu alam berhasil menyalurkan
pengaruh subjektif sehingga terbentuk ilmu yang benar-benar intersubjektif.
Kesulitan khusus bagi ilmu-ilmu kemanusiaan adalah ilmu-ilmu tersebut di dalam
prakteknya tidak dapat melakukan eksperimen secara netral.
Ilmu alam maupun ilmu sosial adalah nonrefleksif
sejauh tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai kodratnya sendiri
sebagai ilmu dengan mempergunakan sarana-sarana teoritis dan eksperimentalnya.
HUBUNGAN FILSAFAT ILMU DENGAN CABANG FILSAFAT LAINNYA
Filsafat ilmu bersinggungan dengan bagian-bagian
filsafat sistematik lainnya, seperti filsafat pengetahuan/epistemologi,
ontologi (ciri-ciri susunan kenyataan), logika (penyimpangan yang benar),
metodologi (konsep metode), dan filsafat kesusilaan (nilai-nilai serta tanggung
jawab).
a. Epistemologi
Epistemologi merupakan teori tentang pengetahuan.
Dalam epistemologi yang dibahas adalah objek pengetahuan, sumber, dan alat
untuk memperoleh pengetahuan, kesadaran dan metode, validitas pengetahuan dan
kebenaran pengetahuan. Epistemologi berkaitan dengan kesesuaian antara realisme
tentang proporsi, konsep-konsep, kepercayaan, dan sebagainya. Selain itu,
realisme tentang objek secara terpilah dalam objek real, fenomena, pengalaman,
data indra, dan lainnya. Semua aliran epistemologi meletakkan beberapa oposisi
sebagai penyusun teori pengetahuan.
Epistemologis meliputi konsepsi yang spesifik tentang
subjek, objek, dan hubungan antara keduanya. Kemudian hal itu dievaluasi dan
menderivikasikan keterangan untuk mengevaluasi pengetahuan dari pengetahuan
tentang hubungan tersebut. Epistemologi juga bermaksud mengkaji
pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya
pengetahuan itu. Epistemologi juga mencoba memberi pertanggungjawaban yang
rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya. Maka dari itu,
epistemologi dapat dinyatakan sebagai suatu disiplin ilmu yang bersifat
evaluatif, normatif, dan kritis. Bersifat evaluatif berarti epistemologi
menilai apakah keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat
dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat
dipertanggungjawabkan secara nalar. Bersifat normatif berarti menentukan norma
atau tolak ukur kenalaran bagi kebenaran pengetahuan. Epistemologi sebagai
cabang ilmu filsafat tidak cukup hanya memberi deskripsi atau paparan tentang
bagaimana proses manusia mengetahui itu terjadi, tetapi perlu membuat penentuan
mana yang betul dan mana yang keliru berdasarkan norma. Sedangkan bersifat
kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil
kegiatan manusia mengetahui. Yang dipertanyakan adalah baik asumsi-asumsi, cara
kerja atau pendekatan yang diambil, maupun kesimpulan yang ditarik dalam
pelbagai kegiatan kognitif manusia.
b. Ontologi
Ontologi membahas mengenai apa yang dikaji (baik objek
meterial maupun objek formal). Objek material merupakan sesuatu hal yang
menjadi sasaran pemikiran yang akan dipelajari. Dengan kata lain objek material
merupakan segala sesuatu yang dipermasalahkan dalam filsfat. Misalnya ilmu
politik, melihat individu dari sisi perilaku politik yang menyangkut kekuasaan,
kebijakan dan konflik. Sedangkan objek formal merupakan cara pandang, melihat
dalam meninjau yang dilakukan seorang peneliti pada objek material. Objek
meterial ada dalam jangkauan manusia yang dapat dibuktikan secara nyata,
sehingga dapat disebut sebagai pengetahuan yang empiris.
Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan
penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah
menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam persoalan ontologi
orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala
yang ada ini. Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan.
Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan
yang berupa rohani (kejiwaan).
Filsafat ilmu berkaitan dengan ontologi karena
filsafat ilmu dalam telaahnya terhadap ilmu akan menyelidiki landasan
ontologisme dari suatu ilmu. Landasan ontologisme ilmu dapat dicari dengan
menanyakan apa asumsi ilmu terhadap objek materi atau maupun objek formal,
apakah objek bersifat pisik atau bersifat kejiwaan.
c. Logika
Logika adalah cabang filsafat yang persoalannya begitu
luas dan rumit, namun ia berkisar pada persoalan penyimpulan, khususnya berkenaan
dengan prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang absah. Penyimpulan yaitu proses
penalaran guna mendapat pengertian baru dari satu atau lebih proposisi yang
diterima sebagai benar, dan kebenaran dari kesimpulan itu diyakini terkandung
dalam kebenaran proposisi yang belakangan. Tatanan logis adalah merupakan
syarat mutlak bagi suatu ilmu. Pernyataan-pernyataan dan kesimpulan-kesimpulan
mengenai esensi-esensi dan sebab-sebab dari objek dalam bidang pengetahuan
tertentu tidak bisa dihitung secara sewenang-wenang, tetapi harus ditata dan
diklasifikasi sesuai dengan prinsip tertentu dan mengikuti metode tertentu.
Penyelidikan mengenai “cara-cara memperoleh pengetahuan ilmiah” bersangkutan
dengan susunan logik dan metode logik, urutan serta hubungan antara berbagai
langkah dalam penyelidikan ilmiah. Dan bersangkutan pula dengan, susunan logik
serta metodologik, urutan serta hubungan antara unsur-unsur serta
struktur-struktur yang berlaku dalam pemikiran ilmiah.
d. Metodologi
Metodologi adalah berkaitan dengan suatu konsep
metode. Metodologi mempersoalkan apakah arti suatu metode, apakah sifat dasar
metode, apakah ada metode yang khas bagi suatu ilmu, apakah ada kaitan antara
tujuan suatu penyelidikan dengan metode yang harus dipakai. Filsafat ilmu
mempersoalkan masalah metode logik, yaitu mengenai asas-asas serta alasan
apakah yang menyebabkan ilmu dapat memperoleh pengetahuan ilmiah. Filsafat akan
mencari prinsip metodis suatu ilmu sebab prinsip metodis merupakan titik tolak
penyelidikan suatu ilmu. Fungsi metodologi adalah menguji metode yang digunakan
untuk menghasilkan pengetahuan yang valid. Metodologi-metodologi mengklaim
untuk menentukan prosedur yang benar bagi ilmu harus memperkirakan bentuk
pengetahuan yang di dalamnya beberapa pengertian superior dihasilkan dalam
ilmu. Ilmu diperkirakan valid jika hasilnya sesuai dengan prosedur dan
diperkirakan dapat disahkan oleh ilmu. Metodologi meletakkan aturan bagi
prosedur praktek ilmu penderivasian sedangkan makna pengetahuan dibuktikan oleh
filsafat. Metodologi adalah produk filsafat, sedangkan ilmu-ilmu adalah
realisasi dari metodologi (Barry Hindes, 1977:5 dalam Harmadi, 2009). Komponen
langkah-langkah Metodologis, yang terdiri 6 (enam) langkah metodologis, yaitu:
- Inferensi logis, suatu masalah yang hendaknya dipecahkan. Maka dari itu pemecahan masalah tersebut diperlukan kajian pustaka (inferensi logis) guna mendapatkan teori-teori yang dapat digunakan untuk pemecahan masalah.
- Deduksi logis, ketika mandapatkan teori-teori untuk memecahkan masalah, selanjutnya dari teori tersebut disusun hipotesis dengan mempergunakan metode deduksi logis
- Interpretasi, instrumentasi, penetapan sampel, penyusunan skala. Maksudnya disini ketika membuktikan benar tidaknya hipotesis perlu adanya observasi. Sebelum melakukan observasi perlu melakukan interpretasi teori yang digunakan sebagai landasan penyusunan hipotesis dalam penelitian seperti penyusunan kisi-kisi/dimensi-dimensi, kemudian penyusunan instrumen, pengumpulan data, penetapan sampel dan penyusunan skala.
- Pengukuran, penyimpulan sampel, estimasi parameter. Setelah observasi, selanjutnya melakukan pengukuran (assessment), penetapan sampel, estimasi kriteria (parameter estimation). Langkah tersebut dilakukan guna mendapatkan generalisasi empiris (empirical generalization).
- Pengujian hipotesis. Generalisasi empiris tersebut pada hakekatnya merupakan hasil pembuktian hipotesis. Apabila hipotesis benar akan memperkuat teori (verifikasi). Apabila hipotesis tidak terbukti akan memperlemah teori (falsifikasi).
- Pembentukan konsep, pembentukan dan penyusunan proposisi. Hasil dari generalisasi empiris tersebut dipergunakan sebagai bahan untuk pembentukan konsep, pembentukan proposisi. Pembentukan atau penyusunan proposisi ini dipergunakan untuk memperkuat atau memantapkan teori, atau menyusun teori baru apabila hipotesis tidak terbukti.
Perkiraan metodologis diderivasi dari epistemologi,
yaitu suatu tata langkah yang memungkinkan diperoleh suatu pengetahuan yang
valid. Karakter pengetahuan sangat berhubungan dengan apa yang menjadi sifat
esensial dari objek penyelidikan.
e. Etika
Etika merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan
baik dan buruk. Hal ini berkaiatan dengan ilmu, yaitu berkaitan dengan tujuan
ilmu dan tanggung jawab ilmu terhadap masyarakat. Hubungan filsafat ilmu dengan
etika dapat mengarahkan ilmu agar tidak mencelakakan manusia, tetapi membimbing
ilmu agar menjadi sarana mensejahterakan manusia. Ilmu bertedensi untuk membuka
tabir atau kedok dari kemutlakan-kemutlakan alam yang oleh sejarah diangkat menjadi
kemutlakan budaya. Tujuan ilmu adalah memperoleh pengertian lebih dalam tentang
motif-motif tingkah laku manusia yang diliputi kegelapan supaya manusia menjadi
lebih utuh, dewasa, dan bebas (Van Melsen, 1985:123-4 dalam Siswomihardjo,
1997).
HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT ILMU DENGAN ILMU-ILMU
Menurut Handerson, memberikan gambaran hubungan (dalam
hal ini perbedaan) antara filsafat dan ilmu sebagai berikut (Salam, 1984):
NO.
|
ILMU (SCIENCE)
|
FILSAFAT
|
1.
|
Anak filsafat
|
Induk ilmu
|
2.
|
Analitis; memeriksa semua gejala melalui unsur
terkecilnya untuk memperoleh gambaran senyatanya menurut bagiannya.
|
Sinoptis; memandang dunia dan alam semesta sebagai
keseluruhan untuk dapat menerangkannya, menafsirkannya, dan memahaminya
secara keseluruhan.
|
3.
|
Menekankan fakta-fakta untuk melukiskan objeknya;
netral dan mengabstrakkan faktor keinginan dan penilaian manusia.
|
Bukan saja menekankan pada keadaan sebenarnya dari
objek, melainkan juga bagaimana seharusnya objek itu. Manusia dan nilai
merupakan faktor penting.
|
4.
|
Memulai sesuatu dengan memakai asumsi-asumsi.
|
Memeriksa dan meragukan asumsi-asumsi.
|
Hubungan filsafat dengan ilmu dapatlah dirumuskan
sebagai berikut (Salam, 1984):
1) Filsafat mempunyai
objek lebih luas, sifatnya universal (universal science), sedangkan ilmu-ilmu
objeknya terbatas, khusus lapangannya saja.
2) Filsafat hendak
memberikan pengetahuan, pemahaman yang lebih mendalam dengan menunjukkan
sebab-sebab yang terakhir sedangkan ilmu juga menunjukkan sebab-sebab, tetapi
tidak terlalu mendalam, dengan satu perkataan dapat dikatakan: ilmu pengetahuan
mengatakan ”bagaimana” barang-barang itu, sedang filsafat mengatakan ”apa”
barang-barang itu.
3) Filsafat memberikan
sintesis kepada ilmu-ilmu yang khusus, mempersatukan dan mengkoordinasikannya.
Lapangan filsafat mungkin sama dengan lapangan ilmu,
tetapi sudut pandangnya berlainan, jadi hal tersebut merupakan dua ilmu yang
tersendiri. Walaupun filsafat dengan ilmu memiliki beberapa perbedaan tetapi
dapat kita kaji beberapa titik pertemuan antara filsafat dan ilmu yaitu (Salam,
1984):
1) Filsafat
dan ilmu pengetahuan menggunakan metode-metode pemikiran reflektif di dalam
menghadapi fakta-fakta dunia dan hidup ini.
2) Ilmu
memberi filsafat sejumlah bahan-bahan deskriptif dan faktual serta esensial
bagi pemikiran filsafat.
3) Banyak
ahli filsafat yang termasyur, telah memberikan sumbangannya dalam pengembangan
ilmu pengetahuan, misalnya Leibniz menemukan “diferensial kalkulus”, Whitehead
dan Betrand Russel dengan teori matematikanya yang terkenal.
4) Filsafat
dan ilmu menunjukkan sifat kritis dan terbuka, dan memberikan perhatian yang
tidak berat sebelah terhadap kebenaran.
5) Filsafat
merangkum pengetahuan yang terpotong-potong dan menjadikan bermacam-macam ilmu
dan berbeda-beda, serta menyusun bahan-bahan tersebut ke dalam suatu pandangan
tentang hidup dan dunia yang lebih menyeluruh dan terpadu.
6) Keduanya
tertarik terhadap pengetahuan yang terorganisir dan tersusun secara sistematis.
7) Ilmu
mengkoreksi filsafat dengan jalan menghilangkan sejumlah ide-ide yang
bertentangan dengan pengetahuan yang ilmiah.
Perkembangan ilmu saat ini semakin besar pengaruhnya
terhadap kehidupan masyarakat. Hubungan antara filsafat ilmu dengan ilmu-ilmu
dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu sebagai berikut.
- 1. Perbedaan Filsafat Dan Ilmu
Filsafat dan ilmu mempunyai banyak persamaan. Kedua
bidang tersebut tumbuh dari sikap refleksif dan sikap bertanya dan dilandasi
oleh kecintaan yang tidak memihak terhadap kebenaran. Hanya saja apabila
filsafat dengan metodenya mampu mempertanyakan keabsahan dan kebenaran ilmu,
sedangkan ilmu dengan metodenya tidak mampu mempertanyakan asumsi ilmu, metode
ilmu, kebenaran ilmu, dan keabsahan ilmu. Ilmu tertentu menyelidiki
bidang-bidang yang terbatas, sedangkan filsafat lebih bersifat inklusif dan
bukan eksklusif. Filsafat berusaha untuk memasukan dalam pengetahuannya apa
bersifat umum untuk segala bidang, dan untuk pengalaman manusia pada umumnya.
Dengan demikian, filsafat berusaha mendapatkan pandangan yang lebih
komprehensif tentang benda-benda (Titus dkk; 1984:284 dalam Siswomihardjo,
1997).
Ilmu dalam pendekatannya lebih analitik dan diskriptif.
Ilmu berusaha untuk menganalisa secara kesuluruhan unsur-unsur yang menjadi
bagian-bagiannya, serta menganalisa organisme pada anggota-anggotanya. Filsafat
lebih berusaha menggabungkan benda-benda dalam sintesa yang interpretatif dan
menemukan arti benda-benda. Apabila ilmu condong untuk menghilangkan
faktor-faktor pribadi dan menggangap sepi nilai-nilai demi menghasilkan
objektifitas, filsafat mementingkan personalitas nilai-nilai, dan bidang
pengalaman (Titus dkk; 1984:284 dalam Siswomihardjo, 1997).
- 2. Spesialisasi Ilmu
Dewasa ini setiap pegetahuan terpisah dari yang
lainnya. Ilmu terpisah dari moral, moral terpisah dari seni, dan seni terpisah
dari ilmu. Kita tidak lagi memiliki pengetahuan yang utuh, tetapi
terpotong-potong. Spesialisasi pendidikan, pekerjaan, dan kemajuan pada bebagai
bidang pengetahuan menyebabkan jurang pemisah menjadi semakin lebar. Dengan
demikian, muncul suatu subdisiplin yang akhirnya dapat menjadi displin yang
berdiri sendiri. Kemungkinan ada dua atau lebih subspesialisasi dapat bertemu
dan bekerja sama, yaitu karena persamaan objek penelitian, cara penelitian, dan
sistem yang sama (T.Jacob, 1992: 15 dalam Mudyahardjo, 2001).
Dengan berkembangnya kemampuan manusia dalam
memecahkan masalah baru, maka memungkinkan ilmu untuk dapat menjajaki daerah
baru, alat baru, dan fenomena baru. Evolusi ilmu dapat berlangsung menurut
percepatan dan kecepatan yang berbeda sehingga kecepatan dapat berubah dari
masa ke masa, sedangkan percepatan terjadi karena kebutuhan dan rangsangan.
Evolusi ilmu dapat berakhir dengan matinya cabang-cabang ilmu, misalnya karena
tidak mempunyai dasar ilmiah yang kuat dan teorinya dikalahkan oleh teori lain.
Revolusi dalam ilmu adalah merupakan evolusi paradigma, yaitu mempengaruhi pola
pikir dalam berbagai disiplin dan subdisiplin (T.Jacob, 1992:15 dalam
Mudyahardjo, 2001).
Cara untuk menyatukan berbagai ilmu tidak mungkin
dengan mengintegrasikan kembali disiplin keilmuan menjadi suatu kelompok yang
lebih besar. Dalam rangka integrasi ilmu guna mengatasi efek negatif
spesialisasi dan ramitifikasi ilmu, maka perlu adanya moral bagi ilmu dan
pedukungnya. Namun untuk menjembatani antara moral dengan ilmu tidak dengan
cara mundur ke belakang dan menentang arus spesialisasi ilmu, yaitu dengan menjadikan
asas-asas moral sebagai landasan metafisik keilmuan.
Daftar Pustaka
Bakhtiar, Amsal. 2006. Filsafat Ilmu. Jakarta:
Raja Gravindo Persada.
Suastra, I Wayan. 2009. Pembelajaran Sains Terkini.
Singaraja : Universitas Pendidikan Ganesha.
Sadulloh, Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan.
Bandung: Alfabeta CV
Siswomihardjo, Koentowibisono. 1997. Filasafat Ilmu.
Yogyakarta: Intan Pariwara
Hardi, Hardono. 1994. Epistemologi filsafat
pengetahuan. Yogyakarta : Kasinus.
Suriasumantri, Jujun S. 1998. Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta. Pustakan Sinar Harapan
Anonym, 2009. Makalah Landasan Ontologi
Epistemologi tersedia pada http://suksespend.blogspot.com/2009/06/makalah-landasan-ontologi-epistemologi.html
(diakses pada 14 Oktober 2012)
Sulaiman, Husnan dan Munasir. 2009. Landasan
Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Dalam Filsafat Ilmu. Tersedia pada: http://suksespend.blogspot.com/2012/05/makalah-landasan-ontologi-epistemologi.html
(diakses pada 14 Oktober 2012)
Farras, Papap. 2009. Filsafat Ilmu, Sebuah
Pengantar Populer. Tersedia pada http://id.shvoong.com/writers/papafarras.
(diakses pada 14 Oktober 2012)
Anonim. 2010. Epistemologi Filsafat. Tersedia
pada: http//www.google.com/epistemologi_filsafat/
(diakses pada 14 Oktober 2012)
Anonim. 2010. Landasan ontologis. Tersedia
pada: http//www.google.com/landasan_ontologis/ (diakses pada 14 Oktober 2012)
Anonim. 2010. Pengertian aksiologis dan ontologis.
Tersedia pada: http//www.wikipedia/pengertian_aksiologis_dan_ontologis/
(diakses pada 14 Oktober 2012)