Kedudukan Filsafat dalam Struktur Ilmu Agama Islam
Dalam beberapa madrasah besar, pengajaran filsafat tidak masuk teras mata kuliah pokok, tetapi digolongkan dalam dalam آ‘uluum alآ’-aآ’jam (ilmu-ilmu asing), artinya tidak langsung bertempat antara آ‘uluum al-diin yang berdasarkan tradisi dan disebut آ‘ulum al-naqliyah.
Dalam beberapa madrasah besar, pengajaran filsafat tidak masuk teras mata kuliah pokok, tetapi digolongkan dalam dalam آ‘uluum alآ’-aآ’jam (ilmu-ilmu asing), artinya tidak langsung bertempat antara آ‘uluum al-diin yang berdasarkan tradisi dan disebut آ‘ulum al-naqliyah.
Selasa, 00 0000
A. Nisbab antara filsafat dan ilmu agama
Dalam jadwal kuliah madrasah besar pengajaran filsafat
tidak masuk teras matakuliah pokok, tetapi digolongkan dalam 'ulum al-ajam
(ilmu-ilmu asing). Artinya tidak langsung bertempat antara ulum al-din
(ilmu-ilmu agama) yang berdasarkan tradisi dan disebut 'ulum al-naqliyyah.
Dilihat dari segi lain, filsafat, bersama dengan ilmu mantik dan filologi
(lughat, nahwat, sarf dan adab), dipergunakan sebagai ilmu alat ('aliyyah).
Kedudukan filsafat sebagai asing atau sebagai alat saja
jelas berkaitan dengan takrif teologi. L. GARDET mendefinisikan teologi muslim
sebagai apologi defensif. Teologi hanya perlu diperhatikan sewaktu-waktu, yaitu
bila dalil-dalil agama diragukan oleh orang di dalam atau diserang dari luar .
Karena itu AL-GHAZALI memperbandingkan teologi dengan obat untuk orang sakit,
bukan dengan gizi untuk orang sehat. Pada ketika ajaran agama menjadi
"quieta possessio" (milik aman tak terancam) teologi dapat
dibebastugaskan, seperti ditulis oleh b. TAYMIAH. Definisi GARDET tersebut
disetujui pada masa sekarang oleh FADLOU SHEHADI, ISMAIL FAROUQI dan a. HANAFI
(Pengantar theology Islam, Yogyakarta 1967, 126-127). Jadi terdapat perbedaan besar dengan faham katolik
yang mengharapkan dari "intellectus quaerens fidem " (akal menyelidiki
isi iman) suatu sumbangan substansiil untuk integrasi akal dan iman dan
pembinaan sintese teologis spekulatif.
Karena syarat untuk hidup filsafat dalam Islam itu,
maka para filsuf harus merebut kedudukannya oleh membenarkan diri sebagai
pendukung, pembela dan juru penerangan agama. Berkali-kali mereka mencoba hal
itu, tetapi harapan tidak dipenuhi dan hasil pikiran mereka ditampik sebagai
tidak memenuhi syarat.
B. Penolakan filsafat
Kontak pertama dengan dinamik filsafat Yunani
mengobar-ngobarkan semangat besar untuk berfilsafat dan untuk memperluas
cakrawala budi di luar batas-batas dari pelajaran hukum (fiqh). Para peminat
filsafat yang pertama belum menyusun sistem, hanya memetik beberapa buah
fikiran dari khazanah Yunani. Nafsu mereka untuk mengecap buah terlarang itu
mengakibatkan kecurigaan pada fihak fuqaha. Dalam dua pernyataan, yang
digabungkan dengan ahli fiqh ABU HANIF A (w. 767), yaitu FIQH AKBAR I dan
AL-WASIYAT, dirumuskan 37 fasal yang tidak boleh diganggu-gugat oleh kaum filsuf
. Gerakan MUTAZILA masuk lebih dalam istana filsafat. Maka dalam FIQH AKBAR II,
di mana pengaruh AL-ASH' ARI menampak ( ± 935), dikeluarkan pernyataan resmi
(29 fasal) yang membatasi penelitian bebas oleh kaum filsuf.
Gerakan FALSAFAH hellenistis memperuncing ketegangan
antara akal dan iman. Reaksi para ulama berbentuk aneka warna. Dalam FIQH AKBAR
III (abad XI) filsafat dalam 33 fasal ditolak sebagai bid'ah, kufurat, zandiq,
mulhid, haram dan majuzi. Al-Tahafut menghitamkan ajaran filsafat secara sistematis
dan menyudahi kegiatan filsafat di khalifat timur. Pada tahun 1196 Sultan ABU
YUSUF AL-NASIR melarang dengan keras pelajaran filsafat dalam seluruh daerah
kekuasaannya di barat. Perlawanan selanjutnya tampak dalam buku-buku seperti
"Al-radd ala'I-mantiq", karangan b. TAYMIAH (1300),
"lbtal al-falsafah" karangan b. KHALDUN (1400), yang dalam jadwal
ilmu pengetahuan mendaftarkan falsafat dalam golongan ilmu-ilmu tolol setingkat
dengan sihir, tenung, alkemi dan klenik (The Muqadimmah, terj. F. ROSENTHAL, cet.
2, New York 1967, III 152-153; 246-258). Akhirnya terbitlah "Tahafut
al-falsafah", disusun oleh KHAJAZADAH atas perintah sultan Turki
Osmanli Mehmed Il (1451 -1481).
Betapa hebat serangan anti filsafat itu dapat
dimengerti dari fatwa seorang mu'allim di madrasah Dar al-hadith di Dimashq,
yaitu IBN AL-SALEH TAHI'UDDIN ABU AMR 'UTHMAN AL-KURDI AL-SHAH- RAZURI (1182
-1245), yang mengatakan:
"Filsafat merupakan pokok kebodohan dan
penyelewengan, bahkan kebingungan dan kesesatan. Barangsiapa yang berfilsafat,
maka butalah hatinya dari kebajikan shari'at suci. Siapa mempelajarinya, maka
di diiringi kehinaan, tertutup bagi kebenaran dan tergoda oleh setan Para ulama
menyelami lautan kebenaran dan bahasan tanpa ilmu mantik atau filsafat.
Barangsiapa berpendapat bahwa kedua ilmu berfaedah, maka dia telah dibujuk dan
ditipu oleh setan. Para penguasa wajib memecat mereka dari pengajaran dan
memenjarakannya" (bdk. E I, III, 927; Hanafi, Pengantar filsafat Islam OC.
27-28).
Suara peringatan seperti itu bernafas panjang dan
bergema jauh. MUH. ABDUH menasehati, agar madhhab filsafat berhenti bicara saja
(Risalah Tauhid, terj. H. FIRDAUS, Jakarta 1963, 80). H. MUNAWAR CHALIL
menyerukan, agar kaum muslim takut akan pemakaian akal, pikiran dan ra'y dalam
urusan agama (Kembali kepada al-Qur.an dan assunah, Jakarta 1956,
118-126). Filsafat mengacaukan jalan pikiran benar (HAMKA, Pelajaran agama
Islam, Jakarta 1956, 162-169). H. RASHIDI memasang rambu bahaya pada jalan
filsafat; itulah jalan ke kufurat (Penyuluh Agama, 1956, 17) dst.
C. Pujian kepada para filsuf kuno
Berselang-seling dengan rambu "Awas Bahaya"
dilihat juga tugu-tugu kenang-kenangan. Sering dibaca sekarang, bahwa ummat
Islam berhak membanggakan diri atas nilai filsafat ajarannya dan atas para
filsuf termashur yang lahir di tengah-tengah mereka.
Mengenai ujud pertama dibuktikan, bahwa pelaksanaan
arkan al-islam menghasilkan manfaat besar. Misalnya puasa berguna untuk
kesehatan, sikap badan dalam salat melemaskan sendi tulang dan memperpanjang
usia, manasik haji mempererat ikatan persaudaraan antara bangsa-bangsa dll.
Hasil baik itu disebut hikmah atau filsafat rukun (misalnya. H. ASHSHIDI- QY, Ideologi
Islam, Medan, tt.). Syukurlah bahwa hasil baik itu menyusul. Hanya saja
sebaiknya tidak diberikan predikat filsafat. Nama tepat untuk hal itu adalah:
akibat pragmatis dari kewajiban terhadap Tuhan.
Secara tidak langsung filsafat dipuji oleh
perbandingan antara alim ulama dahulu dengan tokoh-tokoh filsafat baru.
Misalnya: AL-GHAZALI disebut Kant atau Bergson Islam; IQBAL dijuluki Descartes
Islam; AL- ASH' ARI, Leibnitz Islam (bdk. Gema Islam 2, 1962, 22; 3,
1962, 9-10). AL- GHAZALI juga digelari sebagai Descartes daIi David Hume Islam
(M. NAT- SIR, Capita Selecta, Jakarta 1957, 20, 179, 201). Perbandingan
itu, bila dipikirkan dengan konsekwen, memuat penilaian positif terhadap para
filsuf kuno dan mengandung kemungkinan - siapa tahu ? kehidupan kembali
filsafat di dalam Islam.