RINGKASA TENTANG FILSAFAT ILMU
I. Tradisi Keilmuan di Barat
Zaman Yunani kuno berlangsung
kira-kira dari abad ke 6 S.M. hingga awal abad pertengahan, atau antara +
600 tahun S.M. hingga tahun 200 SM. Zaman ini dianggap sebagai cikal bakal
filsafat yang ada sekarang. Pada zaman ini mitos-mitos yang berkembang dalam
masyarakat digantikan dengan logos (baca: rasio) setelah mitos-mitos tersebut
tidak dapat lagi menjawab dan memecahkan problema-problema kosmologis.
Pada tahap ini bangsa Yunani
mulai berpikir sedalam-dalamnya tentang berbagai fenomena alam yang begitu
beragam, meninggalkan mitos-mitos untuk kemudian terus meneliti berdasarkan reasoning
power.
Contoh yang paling
populer dalam hal ini adalah mengenai persepsi orang-orang Yunani terhadap
pelangi. Dalam masyarakat tradisional Yunani, pelangi dianggap sebagai dewi
yang bertugas sebagai pesuruh bagi dewa-dewa lain. Tetapi bagi mereka yang
sudah berpikir maju, pelangi adalah awan sebagaimana yang dikatakan oleh
Xenophanes, atau pantulan matahari yang ada dalam awan seperti yang diktakan
oleh Pytagoras (499-420 SM). Demikianlah apa yang menjadi perhatian para
ahli pikir Miletos –sebuah kota di Yunani– pertama kali adalah alam (problema
kosmologis).
Zaman ini melahirkan
pakar-pakar filsafat yang berjasa besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan
selanjutnya, Thales (+ 625-545 S.M), Anaximandors (+ 610-540
S.M), Anaximanes (+ 538-480 S.M), Pythagoras (+580-500 S.M),
Xenophanes (+570-480 S.M) Heraklistos (+ 540-475 S.M) dan
seterusnya.
Thales misalnya yang pertama
kali mempertanyakan dasar dari alam dan segala isinya. Dia mengatakan, bahwa
asal mula dari segala sesuatu adalah air. Sedangkan menurut
Anaximandros, bahwa asal segala sesuatu adalah apeiron (yang tak
terbatas) yang disebabkan oleh penceraian (ekskrisis). Lain lagi dengan
Anaximanes, dia berpendapat bahwa asal segala sesuatu adalah hawa atau udara.
Pendapat Thales dan
kawan-kawan sezamannya itu hingga sekarang masih aktual dan menarik sebagai
inspirasi bagi munculnya teori tentang proses kejadian sesuatu (evolusionisme).
Dalam hal berpikir logika
deduktif, nama Aristoteles (384-322 S.M) tidak bisa dilupakan. Dasar-dasar
berpikirnya tetap mendominasi para ilmuwan di Eropa hingga dewasa ini.
Aristoteles adalah murid Plato (427-347 S.M) dan Plato adalah murid Sokrates
(469-399 S.M). Perbedaan pendapat pada masa ini sudah timbul meski dengan
gurunya, seperti Plato dengan Aristoteles, juga filosuf-filosuf yang
lain.
Hingga kini logika
Aristoteles tetap terpakai, sebab logika tersebut dapat diaplikasikan pada
perkembangan muttakhir berbagai ilmu dan teknologi. Mula-mula logika
Aristoteles menjelma dalam prinsip kausalitas ilmu alam (natural science),
kemudian menjelma menjadi logika ekonomi di dalam industri (Cony R. Semiawan et.al,
1988 :10).
Pasca Aristoteles, kira-kira
lima abad kemudian, muncul lagi pemikir-pemikir jenius seperti Plotinus
(284-269 S.M). Zaman ini adalah zaman filsafat Hellenisme di bawah pemerintah
Alexander Agung. Hanya zaman ini berbeda sekali dengan zaman Aristoteles,
dimana perkembangan ilmu tidak mengalami kemajuan yang pesat hingga abad
pertengahan. Pada masa ini pemikiran filsafat yang teoretis menjadi
praktis dan hanya menjadi kiat hidup saja. Muncul pula aliran yang bercorak relijius,
misalnya: filsafat neo-Pythagoras, Platonis Tengah, Yahudi dan Platonisme,
termasuk aliran yang bersifat etis, Epikuros dan Stoa (Harun Hadiwijono, 1989 :
54).
Pasca Yunani, bangsa yang
berbudaya tinggi adalah Romawi. Dapat dikatakan, bahwa dalam kegiatan keilmuan
bangsa Romawi pada umunya hanya berpegang pada karya-karya tokoh Yunani,
terutama Aristoteles yang tanpa banyak mengadakan perubahan (Cony, et.al.,
1988 : 14).
Sejak runtuhnya kerajaan
Romawi non-Katolik dan mulai berkembangnya agama Katolik Roma,
kerajaan-kerajaan di Eropa masuk dalam abad kegelapan, abad kemandekan kegiatan
keilmuan yang disebabkan antara lain karena para penguasa kerajaan di Eropa
tidak concern terhadap perkembangan keilmuan disamping terlalu kuatnya
pengaruh otoritas agama (Cony, at.al, 1988: 14).
Sangat beruntung, selama
kurun waktu ini di Timur Tengah, kerajaan-kerajaan bangsa Arab yang diwarnai
oleh Islam berkembang pesat dalam kegiatan keilmuan. Dengan didudukinya
daerah-daerah Yunani dan Romawi secara berangsur-angsur oleh bangsa Arab, maka
para ilmuwan mereka dapat memiliki khazanah pengetahuan yang sudah maju saat
itu. Kemudian mereka melakukan pengembangan lebih lanjut dengan memberikan
ciri-ciri khas penalaran dan penemuan mereka sendiri. Jadi merekalah (baca: kaum
muslimin) yang sesungguhnya mengisi kesenjangan perkembangan ilmu dan
pengetahuan saat Eropa dilanda “kegelapan” (Cony, et.al., 1988:15).
Pasca Hellenisme dan Romawi
kemudian disusul dengan masa patristik, baik Patristik Timur maupun Barat.
(Disebut demikian karena masa ini adalah masa bapak-bapak gereja, kira-kira
pada abad ke-8). Para pemikir Kristen pada zaman ini mengambil sikap yang
berbeda-beda, ada yang menerima filsafat Yunani dan ada yang menolak
mentah-mentah, karena filsafat dianggap berbahaya bagi iman Kristen (Harun
Hadiwijono, 1989 : 70).Setelah ini kemudian muncul
zaman pertengahan, atau disebut juga dengan zaman baru Eropa Barat. Sebutan
Skolastik menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan abad ini diajarkan oleh
sekolah-sekolah gereja (Harun, 1989: 87).
Pada zaman pertengahan ini
ilmu dikembangkan dan diarahkan atas dasar kepentingan agama (Kristen) dan baru
memperoleh kemandiriannya semenjak adanya gerakan Renaissance dan Aufklarung
abad ke-15 dan 18. Semenjak itu pula manusia merasa bebas, tidak terikat oleh
agama, tradisi, sistem, otoritas politik dan sebagainya (Koento Wibisono, 1988:
4). Sejak saat inilah filsafat Barat menjadi sangat antroposentris, manusia
bebas “mengadili” dan menghakimi segala sesuatu yang dihadapinya dalam hidup
dan kehidupannya. Pada saat ini pulalah filsafat dan agama menjadi mencair
tidak manunggal lagi. Agama mendasarkan diri atas iman dan kepercayaan,
kebenaran wahyu dan firman Tuhan, sementara filsafat dengan mengembangkan rasio
dan pengalamannya mencoba menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi
dengan semangat “kebebasan” dan “pembebasan” manusia dalam hidup dan
kehidupannya (Koento Wibisono, 1985 : 7-8).
Diawali oleh metode berpikir ala
Bacon (1561-1626 M) disamping tampilnya “anak-anak” renaissance, seperti:
Copernicus (1473-1630 M), Galileo (1564-1642 M), Kepler (1571-1630 M) dengan
hasil-hasil penelitiannya yang spektakuler, maka tibalah gilirannya kini
filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu alam (natural sciences). Para
filosuf sendiri sangat terpukau oleh keberhasilan metode ilmu pasti dan ilmu
alam, sehingga timbullah gagasan di antara mereka untuk menerapkan metode
tersebut dalam filsafat, misalnya Newton (1643-1727 M) dengan Philsopohae
Naturalis Principia Mathematica-nya, Descartes (1596-1650 M) dengan Discours
de la Methode-nya, Spinoza (1632-1677 M) dengan karya Ethic-nya dan
seterusnya, yang dengan pengembangan teori-teori tersebut mereka dipandang
sebagai “Bapak” filsafat modern (Koento Wibisono, 1985: 7-8).
Hampir dua abad lamanya,
filsafat modern yang dimulai sejak abad ke-16 diisi oleh pergumulan hebat
antara rasionalisme dan empirisme, sehingga seorang pakar besar
Immanuel Kant (1724-1804 M) dengan karyanya yang masyhur, Kritik der reinen
Vernunft berhasil “memugar” objektivitas ilmu pengetahuan modern (Koento
Wibisono, 1985: 7-8).
Demikianlah kemajuan berpikir
manusia dari kurun ke kurun mengalami perkembangannya, mulai dari zaman Yunani
Kuno, zaman renaissance (abad ke-15), Aufklarung (abad 18) hingga
abad ke-19 dan abad ke-20, mulai dari dari J.C. Fichte (1762-1814 M) hingga
Gabriel Marcel (1889-1973 M), bahkan hingga sekarang ini.
II. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya
Sebagaimana pendapat umum,
bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang kebijaksanaan, prinsip-prinsip
mencari kebenaran, atau berpikir rasional-logis, mendalam dan bebas (tidak
terikat dengan tradisi, dogma agama) untuk memperoleh kebenaran. Kata ini
berasal dari Yunani, Philos yang berarti cinta dan Sophia yang
berarti kebijaksanaan (wisdom).
Ilmu adalah bagian dari
pengetahuan, demikian pula seni dan agama. Jadi dalam pengetahuan tercakup
didalamnya ilmu, seni dan agama. Filsafat sebagaimana pengertiannya semula bisa
dikelompokkan ke dalam bagian pengetahuan tersebut, sebab pada permulaannya
(baca: zaman Yunani Kuno) filsafat identik dengan pengetahuan (baik teoretik
maupun praktik). Akan tetapi lama kelamaan ilmu-ilmu khusus menemukan
kekhasannya sendiri untuk kemudian memisahkan diri dari filsafat. Gerak
spesialisasi ilmu-ilmu itu semakin cepat pada zaman modern, pertama ilmu-ilmu
eksakta, lalu diikuti oleh ilmu-ilmu sosial seperti: ekonomi, sosiologi,
sejarah, psikologi dan seterusnya. (Lihat Franz Magnis Suseno, 1991:18 dan Van
Peursen, 1989 : 1).
Ilmu berusaha memahami alam
sebagaimana adanya, dan hasil kegiatan keilmuan merupakan alat untuk meramalkan
dan mengendalikan gejala-gejala alam. Pengetahuan keilmuan merupakan sari
penjelasan mengenai alam yang bersifat subjektif dan berusaha memberikan makna
sepenuh-penuhnya mengenai objek yang diungkapkannya. Dan agama (sebagiannya)
adalah sesuatu yang bersifat transendental di luar batas pengalaman manusia
(lihat Cony et al. 1988 : 45).
Secara garis besar, Jujun S.
Suriasumanteri (dalam A.M. Saifuddin et.al, 1991 : 14) menggolongkan
pengetahuan menjadi tiga kategori umum, yakni: (1) pengetahuan tentang yang
baik dan yang buruk (yang disebut juga dengan etika/agama); (2) pengetahuan
tentang indah dan yang jelek (yang disebut dengan estetika/seni) dan (3)
pengetahuan tentang yang benar dan yang salah (yang disebut dengan
logika/ilmu). Ilmu merupakan suatu pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia
alam agar gejala alamiah tersebut tak lagi merupakan misteri.
Pengetahuan pada hakikatnya
merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk di
dalamnya adalah ilmu. Dengan demikian ilmu merupakan bagian dari pengetahuan
yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya, seperti
seni dan agama. Sebab secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian
objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki
pula daerah jelajah yang bersifat transendental yang berada di luar pengalaman
manusia itu (Jujun, 1990:104-105). Sedangkan sisi lain dari pengetahuan mencoba
mendeskripsikan sebuah gejala dengan sepenuh-penuh maknanya, sementara ilmu
mencoba mengembangkan sebuah model yang sederhana mengenai dunia empiris dengan
mengabstraksikan realitas menjadi beberapa variabel yang terikat dalam sebuah
hubungan yang bersifat rasional. Ilmu mencoba mencarikan penjelasan mengenai
alam yang bersifat umum dan impersonal, sementara seni tetap bersifat
individual dan personal, dengan memusatkan perhatiannya pada “pengalaman hidup
perorangan” (Jujun, 1990: 106-107).
Karena pengetahuan ilmiah
merupakan a higher level of knowledge dalam perangkat-perangkat kita
sehari-hari, maka filsafat ilmu tidak dapat dipishkan dari filsafat
pengetahuan. Objek bagi kedua cabang ilmu itu sering-sering tumpang tindih
(Koento Wibisono, 1988 : 7).
Filsafat ilmu adalah
penyelidikan tentang ciri-ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk
memperoleh pengetahuan tersebut (Beerling, et al., 1988:1-4). Filsafat
ilmu erat kaitannya dengan filsafat pengetahuan atau epistemologi, yang
secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk-bentuk pengalaman
manusia, juga mengenai logika dan metodologi.
Untuk menetapkan dasar
pemahaman tentang filsafat ilmu tersebut, sangat bermanfaat menyimak
empat titik pandang dalam filsafat ilmu, yaitu:
- Bahwa filsafat ilmu adalah perumusan world-view yang konsisten dengan teori-teori ilmiah yang penting. Menurut pandangan ini, adalah merupakan tugas filosuf ilmu untuk mengelaborasi implikasi yang lebih luas dari ilmu;
- 2. Bahwa filsafat ilmu adalah suatu eksposisi dari presupposition dan pre-disposition dari para ilmuwan.
- 3. Bahwa filsafat ilmu adalah suatu disiplin ilmu yang didalamnya terdapat konsep-konsep dan teori-teori tentang ilmu yang dianalisis dan diklasifikasikan;
- 4. Bahwa filsaft ilmu merupakan suatu patokan tingkat kedua. Filsafat ilmu menuntut jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
- Karakteristik-karakteristik apa yang membedakan penyelidikan ilmiah dari tipe penyelidikan lain?
- Kondisi yang bagaimana yang patut dituruti oleh para ilmuwan dalam penyelidikan alam?
- Kondisi yang bagaimana yang harus dicapai bagi suatu penjelasan ilmiah agar menjadi benar?
- d. Status kognitif yang bagaimana dari prinsip-prinsip dan hukum-hukum ilmiah? (Cony, at.at., 1988 : 44).
Pada masa renaissance
dan aufklarung ilmu telah memperoleh kemandiriannya. Sejak itu pula
manusia merasa bebas, tidak terikat dengan dogma agama, tradisi maupun sistem
sosial. Pada masa ini perombakan secara fundamental di dalam sikap pandang
tentang apa hakekat ilmu dan bagaimana cara perolehannya telah terjadi.
Ilmu yang kini telah
mengelaborasi ruang lingkupnya yang menyentuh sendi-sendi kehidupan umat
manusia yang paling dasariah, baik individual maupun sosial memiliki dampak
yang amat besar, setidaknya menurut Koento (1988: 5) ada tiga hal: pertama,
ilmu yang satu sangat berkait dengan yang lain, sehingga sulit ditarik batas
antara ilmu dasar dan ilmu terapan, antara teori dan praktik; kedua
semakin kaburnya garis batas tadi sehingga timbul permasalahan sejauh mana
seorang ilmuwan terlibat dengan etika dan moral; ketiga, dengan adanya
implikasi yang begitu luas terhadap kehidupan umat manusia, timbul pula
permasalahan akan makna ilmu itu sendiri sebagai sesuatu yang membawa kemajuan
atau malah sebaliknya (Untuk ini lihat pula Peursen, 1989:1).
Filsafat ilmu pengetahuan (theory
of knowledge) dimana logika, bahasa, matematika termasuk menjadi bagiannya
lahir pada abad ke-18. Dalam filasfat ilmu pengetahuan diselidiki apa yang
menjadi sumber pengetahuan, seperti pengalaman (indera), akal (verstand),
budi (vernunft) dan intuisi. Diselidiki pula arti evidensi serta
syarat-syarat untuk mencapai pengetahuan ilmiah, batas validitasnya dalam
menjangkau apa yang disebut sebagai kenyataan atau kebenaran itu (Koento
Wibisono, 1988: 5). Dari sini lantas muncul teori empirisme (John Lock),
rasionalisme (Rene Descartes), Kritisisme (Immanuel Kant). Posisitivisme
(Auguste Comte), fenomenologi (Husserl), Konstruktivisme (Feyeraband) dan
seterusnya. Sejalan dengan itu, masing-masing aliran ini atau disebut juga school
of thought, memiliki metodenya sendiri-sendiri, sehingga metodologi menjadi
bagian yang sangat menarik perhatian.
Filsafat ilmu sebagai
kelanjutan dari perkembangan filsafat pengetahuan, adalah juga merupakan cabang
filasafat. Ilmu yang objek sasarannya adalah ilmu, atau secara populer disebut
dengan ilmu tentang ilmu. (Koento Wibisono, 1988 : 6).
Dalam perkembangan
selanjutnya, pada tahap sekarang ini filsafat ilmu juga mengarahkan pandangannya
pada strategi pengembangan ilmu, yang menyangkut juga etik dan heuristik,
bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap arti dan makna bagi
kehidupan umat manusia (Van Peursen, 1989: 96).