1. Apakah yang menjadi dasar hukum pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur DKI Jakarta?



TUGAS MAKALAH

BAB I
PENDAHULUAN


1.1.Latar Belakang
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (2)Undang-Undag Dasar 1945.[1] Sebagai negara hukum yang demokrasi , maka tujuan utama dari negara ini adalah seperti tercantum dalam alenia keempat Undang-Undang dasar 1945, yaitu: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah daran Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social.[2]
            Untuk Mencapai Tujuan utama negara Indonesia sebagai negara hukum yaitu menciptakan kesejahteraan bangsa. Maka untuk itu diperlukan seperangkat peraturan perundang-undanganyang mengautur kehidupan masyarakat agar tercipta ketertiban hukum (rechtsarde, legal order). Dalam hal ini peraturan perundang-undangan penting karena tujuan utama pembentukan peraturan perundang-undangan di negara hukum adalah untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam tatanan kehidupan masyarakat, yakni kondisi sistem hukum yang mendukung cita-cita ksejahteraan itu.[3]
            Salah satu bentuk perwujudan konsep tujuan negara adalah dengan dibentuknya otonomi daerah, yang merupakan salah satu bentuk pelimpahan wewenang pemritah pusat kepada pemrintah daerah untuk mengurus daerahnya masing-masing. Otonomi daerah merupakan salah satu bentuk perwujudan negara demokrasi. Melalui Otonmi daerah setiap daerah baik itu di provinsi atai kabupaten/kota memilki kepala daerah masing-masing yang di pilih melalui pemilukada. Pemilihan umum adalah wujud nyata dari demokrasi procedural, meskipun demokrasi tidak sama dengan pemilihan umum, namum pemilihan umum merupakan salah satu aspek demokrasi yang sangat penting yang juga harus diselenggarakan secara demokratis.[4]
            Pada Umumnya di negara-negara yang menamakan diri sebagai negara demokrasi mentradisikan pemilu untuk memilih pejabat-pejabat public dibidang legislative dan eksekutif baik di pemerintahan pusat maupun di pemerintahan daerah. demokrasi dan pemilu yang demokratis saling merupakan “Qonditio sine quanon”, the one can not exist without the others. Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “ Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemenrintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.[5] Provinsi DKI  Jakarta merupaka salah satu daerah di Indonesia yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah. Pada tahun 2012 DKI Jakarta telah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah yaitu pemilihan gubernur dan wakil gubernur untuk periode 2012-2017 yang kemudian dimenangkan oleh Joko Widodo sebagai gubernur dan Basuki Tjahaja Purnama sebagai wakil gubernur.
            Pada pertengahan tahun 2014 gubernur DKI Jakarta terpilih yakni Joko Widodo memutuskan untuk mencalonkan diri sebgai presiden Republik Indonesia, dan dalam hal ini sesuaidengan peraturan perundang-undang yang ada maka Basuki Tjahaja Purnama yang berhak untuk menjadi melaksanakan tugas gubernur sementara. Terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden Repubik Indonesia Periode 2014-2019 menimbulkan polemik tersendiri. Hal ini terjadi karena dirubahnya Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo. Undang-Undang No 8 Tahun 2012 yang menganut sistem pemilihan kepala daerah langsung dan kemudian dirubah menjadi Undang-Undang No 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahn Daerah yag menganut sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Perbedaan onsep inilah yang menjadi polemik apakah sebenarnya pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur DKI Jakarta terpilih menggantikan Joko Widodo adalah konstitusional anatupun inkonstitusional.
            Berkaitan dengan latar belakang di atas maka penulis akan membuat makalah dengan judul “ Status Hukum Pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur DKI Jakarta berdasarkan ketentuan undang-undang pemerintahan daerah (Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo. Undang-Undang No 8 Tahun 2012 dan kemudian dirubah menjadi Undang-Undang No 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah)”.


1.2.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang di atasadalah sebgai berikut:
1.      Apakah yang menjadi dasar hukum pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur DKI Jakarta?
2.      Bagiamanakah status hukum pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur DKI Jakarta?

1.3.Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.      Untuk mengatahui apakah yang menjadi dasar pengangkatan pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur DKI Jakarta.
2.      Untuk mengetahui status hukum pengangkatan pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur DKI Jakarta

1.4.Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan adalah metode kepustakaan, dalam metode ini dilakukan dengan membaca buku dan mencari informasi dari internet yang berkaitan dengan penulisan makalah ini



BAB II
LANDASAN TEORI

2.1.            Dasar Hukum Pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama Sebagai Gubernur DKI Jakarta
            Polemik yang terjadi antara Basuki Purnama sebagai Plt. Gubernur, Djohermansyah Johan (Dirjen Otda Kemendagri) dan M.Taufik (Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta) berkaitan dengan dasar hukum yang digunakan. Awalnya M. Taufik merujuk pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Basuki Purnama menggunakan UU. No. 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan Djohermansyah Johan menggunakan Perppu No. 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Hal inilah yang menimbulkan terjadi dualisme hukum yakni perundang-undangan mana yang dipergunakan untuk menjamin kepastian hukum.[6]
Apabila membaca tiga perundang-undangan secara keseluruhan, tidak terjadi dualisme hukum. Memang sampai sekarang Indonesia masih ada dualisme hukum terutama antara hukum tidak tertulis dengan hukum tertulis. Contohnya dalam hal perkawinan, dua hukum tersedia: UU Perkawinan dengan hukum Islam. Atau tanah sebagai obyek kepemilikan, ada yang masih menggunakan hukum adat yang bertentangan dengan hukum perdata. Tetapi dalam perkara di atas, tidak terjadi dualisme hukum. Dasar hukum yang dipergunakan adalah Perppu No. 1 tahun 2014.[7]
UU No. 32 tahun 2004 telah mati oleh UU No. 23 tahun 2014 (vide pasal 409 huruf b). Sebagaimana asas l ex posterior derogat legi priori . Hukum yang terbaru (posterior) mengesampingkan hukum yang lama (prior). Asas ini dinyatakan secara eksplisit dalam pasal 409 dengan kalimat “dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”. Sedangkan UU No.23 tahun 2014 tidak mengatur mekanisme pengisian jabatan Gubernur yang kosong. Ketentuan tersebut diatur dalam UU No. 22 tahun 2014. Khususnya pasal 68 ayat (1) tentang Ketentuan Peralihan berbunyi “Dalam hal terjadi kekosongan gubernur, bupati, dan walikota yang diangkat berdasarkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota menggantikan gubernur, bupati, dan walikota sampai dengan berakhir masa jabatannya ”. namu, dalam hal ini, UU No. 22 tahun 2014 juga telah mati oleh Perppu No. 1 tahun 2014 (vide pasal 205). [8]
UU. No. 29 tahun 2007 memang bersifat khusus, peraturan perundang-undangan khusus, dari ketentuan UU No. 32 tahun 2004. Sebagaimana asas l ex specialis derogat legi generalis. Beberapa ciri khusus (kenmerk ) dari UU No. 27 tahun 2007 dapat dilihat pada syarat perolehan suara 50% dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (vide Pasal 11 ayat (1)); adanya empat deputi pembantu Gubernur (vide pasal 14); dan jumlah anggota DPRD paling banyak 125% (vide pasal 12 ayat (4)). Sifat khusus ditegaskan dalam pasal 2 berkaitan dengan pemilihan kepala daerah. Namun demikian, UU ini tidak memuat norma pengangkatan secara khusus dan mekanisme pengisan jabatan Gubernur/Wakil Gubernur yang kosong. Ketentuan itu kembali kepada primary rules atau lex genaralis yakni UU No. 32 tahun 2004 yang telah diganti dengan UU No. 23 tahun 2014. Artinya dalam perkara diatas UU No. 29 tahun 2007 tidak relevan untuk dijadikan dasar hukum, sebab ketentuan yang berkait dengan mekanisme pengisian Gubernur/Wakil Gubernur yang kosong tidak diatur didalamnya. Sebagaimana sifat khusus dan ketentuan lain yang diakui dalam Pasal 399 UU No. 23 tahun 2014 dan pasal 199 Peppu No. 1 tahun 2014. [9]
Dalam konteks Perppu No. 1 tahun 2014, fiktie hukum tercantum dalam pasal 206 “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia ”. Telah tercatat dalam Lembaran Negara RI tahun 2014 Nomor 245 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5588. Tetapi masalahnya menjadi berbeda, antara “tidak tahu” dengan “tidak mau tahu”. Saya kira para pejabat banyak yang tahu tapi sikap dan pendapat yang diambil karena tidak mau tahu. [10]

2.2.Penerapan PERPPU
Basuki Purnama otomatis menjadi Gubernur pengganti berdasarkan Perppu No. 1 tahun 2014 pasal 203 ayat (1) : Dalam hal terjadi kekosongan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang diangkat berdasarkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, wakil gubernur, Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota menggantikan Gubernur, Bupati, dan Walikota sampai dengan berakhir masa jabatannya . Pasal ini sama persis dengan pasal 68 ayat (1) UU No. 22 tahun 2014 yang telah dicabut oleh Perppu No. 1 tahun 2014. [11]
Pemerintah daeraha dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya selain berpedoman pada undang-undang juga berpedoman pada kebijakan operasional berupa Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang ditetapkan Pemerintah sebagai tatanan, patokan, dasar, dan acuan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. NSPK yang dimaksud dapat berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden, ataupun peraturan menteri/lembaga tinggi lainnya. [12]
Sebagai contoh, untuk menjalankan UU No. 32 tahun 2004, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. PP inilah yang dipergunakan oleh semua pemerintahan daerah sebagai pedomannya. Tak terkecuali Pemda DKI Jakarta, pada tahun 2012 menggunakan PP No.6 tahun 2005 untuk menjalankan mekanisme pengangkatan Joko Widodo dan Basuki Purnama sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Artinya tidak serta merta pemerintah daerah langsung berpedoman kepada UU, namun harus menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah.[13]
Dengan terpilihnya Jokowi sebagi Presiden, maka posisi Gubernur DKI Jakarta dalam keadaan berhalangan tetap. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada Bab VII, Paragraf 5 tentang Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pasal 78 ayat (1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena:[14]
a.       Meninggal dunia
b.      Permintaan sendiri atau
c.       Diberhentikan
Ayat (2) kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sebagimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena:
a.       Berakhir masa jabatan;
b.      Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selam 6 (enam) bulan
Maka berlaku ketentuan Pasal 87 ayat (1) Apabila gubernur berhenti sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan pengisian jabatan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan kepala daerah. Undang-undang Pemprov DKI Jakarta sendiri tidak mengatur mekanisme penggantian gubernur atau walikota. Demikian pula dengan UU Pemda pasal 87 yang menyebutkan bahwa apabila gubernur berhenti, maka pengisian jabatan gubernur disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan kepala daerah.[15]
Ada silang pendapat yang mencuat di tengah-tengah kekosongan posisi jabatan Gubernur DKI saat ini. Apakah Ahok sebagain wakil Gubernur serta merta menjadi Gubernur, dengan alasan Jokowi selaku Gubernur DKI berhalangan tetap. Atau Ahok tetap sebagai wakil gubernur dan Gubernur definitif dipilih oleh DPRD DKI. Hal ini menjadi kontroversi disebabkan, ada 3 rujukan peraturan yang dapat digunakan untuk menjadi acuan yaitu :[16]
1.      Perpu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupato, Walikota (Pilkada)
2.      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang pemerintahan Daerah
3.      Undang-ndang Nomor 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Pasal 173 ayat (1) Perpu Pilkada menyebut gubernur, bupati, walikota yang berhalangan tetap, tidak serta merta (otomatis) digantikan oleh wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota. Sedangkan, Pasal 174 ayat (4) Perppu Pilkada menyebutkan jika sisa masa jabatan gubernur yang berhenti lebih dari 18 bulan, maka pemilihan gubernur dilakukan melalui DPRD. Ini menjadi rujukan bagi Koalisi merah putih untuk bertahan bahwa Basuki Purnama tidak serta merta jadi Gubernur DKI jakarta.[17]
Di sisi lain UU Pemprov DKI Jakarta sendiri tidak mengatur mekanisme penggantian gubernur atau walikota. Demikian pula dengan UU Pemda pasal 87 yang menyebutkan bahwa apabila gubernur berhenti, maka pengisian jabatan gubernur disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan kepala daerah. Ketentuan Peralihan Pasal 203 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. menyebutkan, “Dalam hal terjadi kekosongan gubernur, bupati, dan wali kota yang diangkat berdasarkan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota menggantikan gubernur, bupati, dan wali kota sampai dengan berakhir masa jabatannya”.[18]
            Basuki Tjahaja Purnama sah sebagai gubernur DKI Jakarta telah dipertegas oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan menjelaskan Ahok akan sah sebagai Gubernur definitif, setelah Presiden menandatangani Keppres dan upacara pelantikan digelar. Keppres tersebut memuat sekaligus pengangkatan Ahok sebagai Gubernur definitif DKI Jakarta hingga 2017, serta pemberhentiannya sebagai Wakil Gubernur. Tentang pelantikan di Istana Negara, aturan tersebut tercantum dalam pasal 163 Perpu Pilkada yang menyebutkan bahwa gubernur dilantik oleh presiden di Ibu Kota Negara.[19]
Apabila presiden berhalangan, maka pelantikan gubernur dilakukan oleh wakil presiden. Dan jika wakil presiden juga berhalangan, maka menteri dalam negeri yang akan melaksanakan pelantikan tersebut. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas (Unand) Padang, Saldi Isra mengatakan bahwa dalam hal pengisian jabatan Gubernur DKI Jakarta harus tunduk pada ketentuan pasal 203 ayat 1 Perppu nomor 1 tahun 2014 yang  menyatakan bahwa dalam hal terjadi kekosongan gubernur, bupati, dan wali kota yang diangkat berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, wakil gubernur, wakil bupati dan wakil wali kota menggantikan gubernur, bupati dan wali kota sampai dengan berakhir masa jabatannya.[20]
UU Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan RI, hanya mengatur secara terbatas proses pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007 tersebut  juga tidak mengatur ihwal pemberhentian gubernur dan wakil gubernur. Untuk itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 29 tahun 2007, pengangkatan dan pemberhentian tunduk pada ketentuan dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.[21]

BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama Sebagai Gubernur DKI Jakarta
Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama ditargetkan akan dilantik sebagai gubernur DKI pada pertengahan November. Hal ini dipertegas dengan adanya komunikasi antar DPRD untuk segera menggelar rapat paripurna pelantikan setelah kelengkapan Dewan selesai dibentuk. Surat Kemendagri dikirimkan kepada DPRD DKI. Surat dikeluarkan setelah mendapat rekomendasi dari Mahkamah Agung. Adapun surat Kemendagri itu adalah Surat Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) nomor 121.32/4438/OTDA perihal mekanisme pengangkatan Wakil Gubernur DKI Jakarta menjadi Gubernur DKI Jakarta Sisa Masa Jabatan Tahun 2012-2017. Berikut isi surat Kemendagri tersebut antara lain adalah sebagi berikut:[22]

Sehubungan dengan telah disahkannya pemberhentian Sdr. Ir. H. Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta Masa Jabatan Tahun 2012-2017, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 98/P Tahun 2014 tanggal 16 Oktober 2014, dengan hormat disampaikan hal sebagai berikut:
1)             Di dalam ketentuan Pasal 20r ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti dan Walikota, ditegaskan bahwa dalam hal terjadi kekosongan Gubernur yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Wakil Gubernur menggantikan Gubernur sampai dengan berakhir masa jabatannya.
2)             Tindak lanjut poin 1 di atas berdasarkan ketentuan dalam Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, mekanisme pengusulan Wakil Gubernur DKI Jakarta menjadi Gubernur DKI Jakarta diumumkan oleh Pimpinan DPRD DKI Jakarta dalam rapat paripurna dan diusulkan oleh Ketua DPRD DKI Jakarta kepada Presiden RI melalui Menteri dalam Negeri.
3) Berkenaan dengan hal tersebut di atas, diminta perhatian saudara untuk segera mengumumkan dalam rapat paripurna sekaligus mengusulkan pengesahan pengangkatan Wakil Gubernur DKI Jakarta menjadi Gubernur DKI Jakarta Sisa Masa Jabatan Tahun 2012-2017 kepada Bapak Presiden RI melalui Bapak Menteri Dalam Negeri.
Demikian untuk menjadi perhatian dalam pelaksanaannya. Ditandatangani: an Menteri Dalam Negeri, Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Prof. Dr. H. Djojermansyah Djohan, MA) Tembusan disampaikan kepada yth: Bapak Menteri Dalam Negeri, sebagai laporan dan Plt Gubernur DKI Jakarta
            Pro dan kontra telah mewarnai rencana pengangkatan Pelaksana tugas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menjadi gubernur defenitif .Perjalanan Ahok menuju kursi gubernur DKI Jakarta cukup berliku. Ia mendapat penolakan dari kelompok agama hingga sejumlah politisi di DPRD DKI Jakarta. Salah satu kelompok yang menolak Ahok menjadi pemimpin DKI Jakarta adalah Front Pembela Islam (FPI) yang sudah berulangkali berunjuk rasa di depan Gedung DPRD DKI dan Balai Kota. Ketua Umum FPI Habib Muhammad Rizig Shihab dalam orasinya di depan Balai Kota DKI Jakarta, pekan lalu menolak Ahok memimpin DKI Jakarta dengan alasan penduduk Ibu Kota mayoritas Muslim, sehingga harus dipimpin gubernur beragama Islam. Selain penolakan dari FPI terdapat pula pula penolakan dari sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta.[23]


3.2. Status Hukum Pengangkatan
Basuki Tjahaja Purnama Sebaga Gubernur DKI Jakarta
            Penolakan sejumlah politisi DRPD DKI Jakarta atas pengangkatan Ahok sebagai gubernur defenitif tidak terlepas dari perbedaan persepsi dasar hukum. Menurut Wakil Ketua DPRD Jakarta dari Partai Gerindra Muhammad Taufik mengatakan, Ahok tidak bisa langsung menjadi gubernur defenitif, dikarenakan pada Pasal 173 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomo 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Pemilihan Kepala Daerah menyebutkan gubernur dipilih oleh anggota DPRD. Meski mendapat penolakan dari sejumlah anggota legislatif, rapat paripurna pengumuman Ahok sebagai gubernur digelar anggota DPRD DKI Jakarta pada Jumat 14 November 2014.[24]
Meskipun demikian masih ada pendapat yang mengatakan “Jokowi dan Ahok dipilih berdasarkan UU No. 29 tahun 2007 bukan berdasarkan UU No. 32 tahun 2004. Jadi pasal 203 ayat (1) Perppu itu tidak bisa diterapkan”. Pendapat itu nampak mencampuradukan ketentuan tentang PEMILIHAN dengan PENGANGKATAN. Padahal pasal 203 ayat (1) bicara tentang Pengangkatan bukan Pemilihan. Pengangkatan Joko Widodo dan Basuki Purnama sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur melalui Surat Keputusan Presiden (Kepres) tanggal 8 Oktober 2012. Sebagaimana ketentuan pasal 109 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004 “Pengesahan pengangkatan pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur terpilih dilakukan oleh Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari” . Dilanjutkan dengan pelantikan oleh Mendagri pada tanggal 15 Oktober 2012, sesuai pasal 111 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004 “ “Gubernur dan wakil Gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden”.[25]
Pendapat bahwa pemilihan Joko Widodo dan Basuki Purnama menggunakan UU No. 29 tahun 2007 tidak sepenuhnya benar. UU ini hanya mengatur secara khusus tentang syarat perolehan suara 50% calon Gubernur dan Wakil Gubernur (vide pasal 11 ayat (1)). Sedangkan tata cara penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur menggunakan UU No. 32 tahun 2004. Khususnya Bagian Kedelapan pasal 56 sampai pasal 119 UU No.32 tahun 2004. Terkecuali, pasal 107 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004 dikesampingan oleh pasal 11 ayat (1) UU No. 29 tahun 2009. UU No. 32 tahun 2004, menentukan syarat perolehan suara 25% dikesampingan oleh syarat perolehan suara 50% dalam aturan khusus di UU No. 29 tahun 2009. Jadi Pemilihan Joko Widodo dan Basuki Purnama tahun 2012 menggunakan UU No. 32 tahun 2004, Khusus tentang syarat perolehan suara 50% menggunakan UU No. 29 tahun 2007. Itu saja yang menjadi kekhususannya.[26]
Dalam hal ini Ahok merasa yakin dirinya sudah menjadi Gubernur berdasarkan Surat Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas pengunduran diri Joko Widodo dari kursi Gubernur. Ahok berpegangan pada SK Presiden itu yang mencantumkan pengangkatan Ahok sebagai Plt Gubernur DKI Jakara. Meskipun DPRD DKI Jakarta masih belum satu suara antara Koalisi Merah Putih Dan Koalisi Indonesia Hebat. Meskipun demikian, DPRD DKI Jakarta sebenarnya sudah meminta bantuan dan konsultasi kepada MA menyangkut pembahasan dan penetapan undang-undang yang digunakan untuk pengangkatan Ahok sebagai gubernur. Dari 3 aturan tersebut di atas mana yang paling tepat menjadi dasar pijakan.
Tarik menarik kepentingan antar anggota legislatif terlihat, dan menjadi kontroversi di tubuh DPRD DKI Jakarta sendiri, yaitu Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi memutuskan rapat paripurna istimewa tetap digelar Jumat tanggal 14 Nopember 2014 yang lalu untuk mengumumkan Ahok sebagai Gubernur definitif DKI Jakarta. Prasetyo Edi yang berasal dari PDI-P mengaku sudah mendapat pandangan dari MA. Namun, keputusan Prasetyo Edi Marsudi ini mendapat tentangan dari pimpinan DPRD DKI Jakarta yang lain. Mereka menilai Ahok belum bisa diumumkan sebagai Gubernur DKI Jakarta karena DPRD DKI Jakarta masih menunggu pandangan hukum dari Mahkamah Agung. “Jadi, DPRD sudah sepakat melakukan konsultasi ke MA. Apa pun pendapat hukumnya, akan patuhi. Kalau sudah ada (pandangan dari MA), lalu diumumkan dan dilantik, kita paripurna,” demikian menurut Wakil Ketua DPRD dari fraksi PKS Triwisaksana.
            Sebenarnya hal ini dilakukan Prasetyo Edi Marsudi berdasarkan surat dari Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan pada 28 Oktober 2014. Bahwa Terhitung sejak tanggal pelantikan Jokowi sebagai Presiden RI, DPRD diberi tenggat waktu 18 hari untuk melantik Ahok sebagai Gubernur DKI. Jika tidak, Mendagri yang akan mengambil alih pelantikan Ahok.[27]
Hal ini pemicu dan membuat blunder di internal DPRD DKI Jakarta sendiri, mungkin lebih bijak bila konsul informal yang jadi rujukan Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi, tetap menghormati jawaban formal dari MA. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan merekomendasikan demikian dengan mengabaikan Pasal 174 ayat (2). Karena mengenai siapa yang menggantikan jabatan gubernur yang lowong Pasal 174 ayat (2) mengatur, apabila sisa masa jabatan gubernur yang berhenti atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap lebih dari 18 bulan, pemilihan gubernur pengganti dilakukan melalui DPRD provinsi. Aturan ini jadi rujukan karena Jokowi dan Basuki dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta pada 15 Oktober 2012, sehingga masa jabatan mereka masih tersisa lebih dari 18 bulan, yakni sampai 15 Oktober 2017.
            Menurut pengamat hukum tata negara Refly Harun menyebut Ahok bisa dilantik menjadi gubernur dengan berpedoman pada Pasal 203 ayat (1) Perpu 1/2014. “Filosofinya sederhana. Mereka dipilih secara paket, gubernur dan wakilnya dipilih secara langsung. Untuk ke depan, jika perpu jadi undang-undang dan pilihan sudah tidak satu paket, wakilnya tidak bisa langsung naik,” ujarnya. Setelah menjadi gubernur, Basuki bisa memilih wakilnya atas persetujuan Mendagri. Namun, jika suatu saat Ahok berhalangan atau berhenti, wakil yang dipilihnya atas persetujuan Mendagri itu tak bisa serta-merta “naik” menjadi gubernur. “Karena tidak dipilih secara langsung,”.  Dan hal ini berlaku bagi seluruh kepala daerah. Pelantikan wakil Kepala Daerah dilakukan dengan disumpah untuk masa jabatan 5 tahun. Untuk menjalankan tugasnya selama 5 tahun wakil Kepala Daerah tidak memiliki halangan tetap ataupun sementara. Dan masa jabatannya masih melebihin 18 buln lagi menuju15 Oktober 2017.[28]
            Polemik pengisian jabatan Gubernur DKI Jakarta berakhir setelah
Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan surat keputusan perihal pengangkatan Basuki Purnama untuk menggantikan Gubernur Joko Widodo yang mengundurkan diri per 16 Oktober 2014. Surat Keputusan nomor 121.32/4438/OTDA menjadi dasar hukum mekanisme pengangkatan Basuki Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan sisa masa jabatan tahun 2012-2017. Kementrian Dalam Negeri mengatakan bahwa dikeluarkannya surat keputusan tersebut setelah mendapat rekomendasi dari Mahkamah Agung.[29]











BAB IV
PENUTUP
4.1. Simpulan
1.      Polemik pengisian jabatan Gubernur DKI Jakarta berakhir setelah Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan surat keputusan perihal pengangkatan Basuki Purnama untuk menggantikan Gubernur Joko Widodo yang mengundurkan diri per 16 Oktober 2014. Surat Keputusan nomor 121.32/4438/OTDA menjadi dasar hukum mekanisme pengangkatan Basuki Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan sisa masa jabatan tahun 2012-2017. Kementrian Dalam Negeri mengatakan bahwa dikeluarkannya surat keputusan tersebut setelah mendapat rekomendasi dari Mahkamah Agung.
2.      Status hukum pengankatan Basuki Purnama bersdasarka Surat Keputusan nomor 121.32/4438/OTDA dinyatakn konstitusional dan tidak bertentangan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan lainnya.
4.2. Saran
Berkenaan dengan dibuatnya makalah ini, penulis memiliki saran-saran bagi pembaca, antara lain:
1)      Bagi pemerintah, dengan adanya polemik yang terjadi di atas mak di harapkan di kemudian hari dibentuk suatu peraturan perundang-undang guna menjamin kepastian hukum apabila terjadi kasus yang sama sehingga tidak meimbulkan polemic yang berkepanjangan seperti yang pernah terjadi.
2)      Bagi masyarakat, dengan adanya kasus seperti yang terjadi diatas diharapkan masyarakat mampu bersikap kritis dan bijaksana dalam menanggapi masalah yang ada sehingga tidak terjadi disintegrasi di dalam masyarakat.
3)      Bagi Mahasisa dan pembaca pada umumnya, diharapkan dengan adanya makalah ini bisa menambah pemaham mahasiswa atau pembaca pada umumnya mengenai sistem pemilihan kepala darah yang ada di indonesia sehingga dapat bermanfaat dikemudian hari.




















[1]Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.hlm.2.
[2] Solli Lubis,Ilmu Perundang-undanagn.Bandung: Mandar Maju. 2009.hlm.27
[3] Ibid. hlm.28
[4] Mukhtie Fajar. Jurnal Konstitusi Volume 6 November 1 “Pemilu Yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum dan PHPU. Jakarta:Sekertriat Dan Kepaniteraan Jenderal Mahkamah Konstitusi.2009. hlm.4
[5] Ibid. hlm.6
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[21] Ibid.
[23] Ibid.
[25] Ibid.
[27] Ibid.
[28] iIbid.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

keterangan