TUGAS MAKALAH
BAB I
1.1.Latar Belakang
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (2)Undang-Undag Dasar 1945.[1]
Sebagai negara hukum yang demokrasi , maka tujuan utama dari negara ini adalah
seperti tercantum dalam alenia keempat Undang-Undang dasar 1945, yaitu:
“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah daran Indonesia, dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan social.[2]
Untuk Mencapai Tujuan
utama negara Indonesia sebagai negara hukum yaitu menciptakan kesejahteraan
bangsa. Maka untuk itu diperlukan seperangkat peraturan perundang-undanganyang
mengautur kehidupan masyarakat agar tercipta ketertiban hukum (rechtsarde, legal order). Dalam hal ini
peraturan perundang-undangan penting karena tujuan utama pembentukan peraturan
perundang-undangan di negara hukum adalah untuk menciptakan suasana yang
kondusif dalam tatanan kehidupan masyarakat, yakni kondisi sistem hukum yang
mendukung cita-cita ksejahteraan itu.[3]
Salah satu bentuk
perwujudan konsep tujuan negara adalah dengan dibentuknya otonomi daerah, yang
merupakan salah satu bentuk pelimpahan wewenang pemritah pusat kepada pemrintah
daerah untuk mengurus daerahnya masing-masing. Otonomi daerah merupakan salah
satu bentuk perwujudan negara demokrasi. Melalui Otonmi daerah setiap daerah
baik itu di provinsi atai kabupaten/kota memilki kepala daerah masing-masing
yang di pilih melalui pemilukada. Pemilihan umum adalah wujud nyata dari
demokrasi procedural, meskipun demokrasi tidak sama dengan pemilihan umum,
namum pemilihan umum merupakan salah satu aspek demokrasi yang sangat penting
yang juga harus diselenggarakan secara demokratis.[4]
Pada Umumnya di
negara-negara yang menamakan diri sebagai negara demokrasi mentradisikan pemilu
untuk memilih pejabat-pejabat public dibidang legislative dan eksekutif baik di
pemerintahan pusat maupun di pemerintahan daerah. demokrasi dan pemilu yang
demokratis saling merupakan “Qonditio
sine quanon”, the one can not exist without the others. Pasal 18 Ayat (4)
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “ Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemenrintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih
secara demokratis”.[5] Provinsi
DKI Jakarta merupaka salah satu daerah
di Indonesia yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah. Pada tahun 2012 DKI
Jakarta telah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah yaitu pemilihan gubernur
dan wakil gubernur untuk periode 2012-2017 yang kemudian dimenangkan oleh Joko
Widodo sebagai gubernur dan Basuki Tjahaja Purnama sebagai wakil gubernur.
Pada
pertengahan tahun 2014 gubernur DKI Jakarta terpilih yakni Joko Widodo
memutuskan untuk mencalonkan diri sebgai presiden Republik Indonesia, dan dalam
hal ini sesuaidengan peraturan perundang-undang yang ada maka Basuki Tjahaja
Purnama yang berhak untuk menjadi melaksanakan tugas gubernur sementara.
Terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden Repubik Indonesia Periode 2014-2019
menimbulkan polemik tersendiri. Hal ini terjadi karena dirubahnya Undang-Undang
No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo. Undang-Undang No 8 Tahun 2012
yang menganut sistem pemilihan kepala daerah langsung dan kemudian dirubah
menjadi Undang-Undang No 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahn Daerah yag menganut
sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Perbedaan onsep inilah yang menjadi
polemik apakah sebenarnya pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur
DKI Jakarta terpilih menggantikan Joko Widodo adalah konstitusional anatupun
inkonstitusional.
Berkaitan
dengan latar belakang di atas maka penulis akan membuat makalah dengan judul “
Status Hukum Pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur DKI Jakarta
berdasarkan ketentuan undang-undang pemerintahan daerah (Undang-Undang No 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo. Undang-Undang No 8 Tahun 2012 dan
kemudian dirubah menjadi Undang-Undang No 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah)”.
1.2.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang di atasadalah
sebgai berikut:
1. Apakah yang menjadi dasar hukum
pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur DKI Jakarta?
2. Bagiamanakah status hukum
pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur DKI Jakarta?
1.3.Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Untuk mengatahui apakah yang menjadi
dasar pengangkatan pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur DKI
Jakarta.
2. Untuk mengetahui status hukum
pengangkatan pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur DKI Jakarta
1.4.Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan adalah metode
kepustakaan, dalam metode ini dilakukan dengan membaca buku dan mencari
informasi dari internet yang berkaitan dengan penulisan makalah ini
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.
Dasar Hukum Pengangkatan Basuki
Tjahaja Purnama Sebagai Gubernur DKI Jakarta
Polemik
yang terjadi antara Basuki Purnama sebagai Plt. Gubernur, Djohermansyah Johan (Dirjen
Otda Kemendagri) dan M.Taufik (Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta) berkaitan dengan
dasar hukum yang digunakan. Awalnya M. Taufik merujuk pada UU No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Basuki Purnama menggunakan UU. No. 29 tahun 2007
tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan Djohermansyah Johan menggunakan
Perppu No. 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Hal
inilah yang menimbulkan terjadi dualisme hukum yakni perundang-undangan mana
yang dipergunakan untuk menjamin kepastian hukum.[6]
Apabila
membaca tiga perundang-undangan secara keseluruhan, tidak terjadi dualisme
hukum. Memang sampai sekarang Indonesia masih ada dualisme hukum terutama
antara hukum tidak tertulis dengan hukum tertulis. Contohnya dalam hal
perkawinan, dua hukum tersedia: UU Perkawinan dengan hukum Islam. Atau tanah
sebagai obyek kepemilikan, ada yang masih menggunakan hukum adat yang
bertentangan dengan hukum perdata. Tetapi dalam perkara di atas, tidak terjadi
dualisme hukum. Dasar hukum yang dipergunakan adalah Perppu No. 1 tahun 2014.[7]
UU
No. 32 tahun 2004 telah mati oleh UU No. 23 tahun 2014 (vide pasal 409
huruf b). Sebagaimana asas l ex posterior derogat legi priori . Hukum yang terbaru (posterior)
mengesampingkan hukum yang lama (prior). Asas ini dinyatakan secara
eksplisit dalam pasal 409 dengan kalimat “dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku”. Sedangkan UU No.23 tahun 2014 tidak mengatur mekanisme pengisian
jabatan Gubernur yang kosong. Ketentuan tersebut diatur dalam UU No. 22 tahun
2014. Khususnya pasal 68 ayat (1) tentang Ketentuan Peralihan berbunyi “Dalam
hal terjadi kekosongan gubernur, bupati, dan walikota yang diangkat berdasarkan
UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, wakil gubernur,
wakil bupati, dan wakil walikota menggantikan gubernur, bupati, dan walikota
sampai dengan berakhir masa jabatannya ”. namu, dalam hal ini, UU No. 22 tahun
2014 juga telah mati oleh Perppu No. 1 tahun 2014 (vide pasal 205). [8]
UU.
No. 29 tahun 2007 memang bersifat khusus, peraturan perundang-undangan khusus,
dari ketentuan UU No. 32 tahun 2004. Sebagaimana asas l ex specialis
derogat legi generalis.
Beberapa
ciri khusus (kenmerk ) dari UU No. 27 tahun 2007 dapat dilihat pada syarat
perolehan suara 50% dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (vide
Pasal 11 ayat (1)); adanya empat deputi pembantu Gubernur (vide pasal
14); dan jumlah anggota DPRD paling banyak 125% (vide pasal 12 ayat
(4)). Sifat khusus ditegaskan dalam pasal 2 berkaitan dengan pemilihan kepala
daerah. Namun demikian, UU ini tidak memuat norma pengangkatan secara khusus
dan mekanisme pengisan jabatan Gubernur/Wakil Gubernur yang kosong. Ketentuan
itu kembali kepada primary rules atau lex genaralis yakni UU No.
32 tahun 2004 yang telah diganti dengan UU No. 23 tahun 2014. Artinya dalam
perkara diatas UU No. 29 tahun 2007 tidak relevan untuk dijadikan dasar hukum,
sebab ketentuan yang berkait dengan mekanisme pengisian Gubernur/Wakil Gubernur
yang kosong tidak diatur didalamnya. Sebagaimana sifat khusus dan ketentuan
lain yang diakui dalam Pasal 399 UU No. 23 tahun 2014 dan pasal 199 Peppu No. 1
tahun 2014. [9]
Dalam
konteks Perppu No. 1 tahun 2014, fiktie hukum tercantum dalam pasal 206 “Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah Pengganti UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia ”. Telah tercatat dalam Lembaran Negara RI tahun
2014 Nomor 245 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5588. Tetapi masalahnya
menjadi berbeda, antara “tidak tahu” dengan “tidak mau tahu”. Saya kira para
pejabat banyak yang tahu tapi sikap dan pendapat yang diambil karena tidak mau
tahu. [10]
2.2.Penerapan PERPPU
Basuki
Purnama otomatis menjadi Gubernur pengganti berdasarkan Perppu No. 1 tahun 2014
pasal 203 ayat (1) : Dalam hal terjadi kekosongan Gubernur, Bupati, dan Walikota
yang diangkat berdasarkan
UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, wakil gubernur,
Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota menggantikan Gubernur, Bupati,
dan Walikota sampai dengan berakhir masa jabatannya . Pasal ini sama persis
dengan pasal 68 ayat (1) UU No. 22 tahun 2014 yang telah dicabut oleh Perppu
No. 1 tahun 2014. [11]
Pemerintah
daeraha dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya selain berpedoman pada
undang-undang juga berpedoman pada kebijakan operasional berupa Norma,
Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang ditetapkan Pemerintah sebagai
tatanan, patokan, dasar, dan acuan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
NSPK yang dimaksud dapat berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden,
ataupun peraturan menteri/lembaga tinggi lainnya. [12]
Sebagai
contoh, untuk menjalankan UU No. 32 tahun 2004, pemerintah menerbitkan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. PP inilah
yang dipergunakan oleh semua pemerintahan daerah sebagai pedomannya. Tak
terkecuali Pemda DKI Jakarta, pada tahun 2012 menggunakan PP No.6 tahun 2005
untuk menjalankan mekanisme pengangkatan Joko Widodo dan Basuki Purnama sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Artinya tidak serta merta pemerintah
daerah langsung berpedoman kepada UU, namun harus menunggu terbitnya Peraturan
Pemerintah.[13]
Dengan terpilihnya Jokowi sebagi Presiden, maka posisi Gubernur DKI
Jakarta dalam keadaan berhalangan tetap. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada Bab VII, Paragraf 5 tentang
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pasal 78 ayat (1) Kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena:[14]
a.
Meninggal dunia
b.
Permintaan sendiri atau
c.
Diberhentikan
Ayat (2) kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sebagimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c karena:
a.
Berakhir masa jabatan;
b.
Tidak dapat melaksanakan tugas
secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selam 6
(enam) bulan
Maka berlaku ketentuan Pasal 87 ayat (1) Apabila gubernur berhenti
sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 atau diberhentikan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan pengisian
jabatan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
pemilihan kepala daerah. Undang-undang Pemprov DKI Jakarta sendiri tidak
mengatur mekanisme penggantian gubernur atau walikota. Demikian pula dengan UU
Pemda pasal 87 yang menyebutkan bahwa apabila gubernur berhenti, maka pengisian
jabatan gubernur disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan mengenai
pemilihan kepala daerah.[15]
Ada silang pendapat yang mencuat di tengah-tengah kekosongan posisi
jabatan Gubernur DKI saat ini. Apakah Ahok sebagain wakil Gubernur serta merta
menjadi Gubernur, dengan alasan Jokowi selaku Gubernur DKI berhalangan tetap.
Atau Ahok tetap sebagai wakil gubernur dan Gubernur definitif dipilih oleh DPRD
DKI. Hal ini menjadi kontroversi disebabkan, ada 3 rujukan peraturan yang dapat
digunakan untuk menjadi acuan yaitu :[16]
1.
Perpu No 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupato, Walikota (Pilkada)
2.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 Tentang pemerintahan Daerah
3.
Undang-ndang Nomor 29 Tahun
2007 Tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Sebagai Ibu kota Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pasal
173 ayat (1) Perpu Pilkada menyebut gubernur, bupati, walikota yang berhalangan
tetap, tidak serta merta (otomatis) digantikan oleh wakil gubernur, wakil
bupati, dan wakil walikota. Sedangkan, Pasal 174 ayat (4) Perppu Pilkada
menyebutkan jika sisa masa jabatan gubernur yang berhenti lebih dari 18 bulan,
maka pemilihan gubernur dilakukan melalui DPRD. Ini menjadi rujukan bagi
Koalisi merah putih untuk bertahan bahwa Basuki Purnama tidak serta merta jadi
Gubernur DKI jakarta.[17]
Di sisi lain UU Pemprov DKI Jakarta sendiri tidak mengatur mekanisme
penggantian gubernur atau walikota. Demikian pula dengan UU Pemda pasal 87 yang
menyebutkan bahwa apabila gubernur berhenti, maka pengisian jabatan gubernur
disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan kepala
daerah. Ketentuan Peralihan Pasal 203 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali
Kota. menyebutkan, “Dalam hal terjadi kekosongan gubernur, bupati, dan wali
kota yang diangkat berdasarkan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,
wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota menggantikan gubernur,
bupati, dan wali kota sampai dengan berakhir masa jabatannya”.[18]
Basuki
Tjahaja Purnama sah sebagai gubernur DKI Jakarta telah dipertegas oleh
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan
menjelaskan Ahok akan sah sebagai Gubernur definitif, setelah Presiden
menandatangani Keppres dan upacara pelantikan digelar. Keppres tersebut memuat
sekaligus pengangkatan Ahok sebagai Gubernur definitif DKI Jakarta hingga 2017,
serta pemberhentiannya sebagai Wakil Gubernur. Tentang pelantikan di Istana
Negara, aturan tersebut tercantum dalam pasal 163 Perpu Pilkada yang menyebutkan
bahwa gubernur dilantik oleh presiden di Ibu Kota Negara.[19]
Apabila presiden berhalangan, maka
pelantikan gubernur dilakukan oleh wakil presiden. Dan jika wakil presiden juga
berhalangan, maka menteri dalam negeri yang akan melaksanakan pelantikan
tersebut. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas (Unand) Padang,
Saldi Isra mengatakan bahwa dalam hal pengisian jabatan Gubernur DKI Jakarta
harus tunduk pada ketentuan pasal 203 ayat 1 Perppu nomor 1 tahun 2014
yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi
kekosongan gubernur, bupati, dan wali kota yang diangkat berdasarkan UU Nomor
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, wakil gubernur, wakil bupati dan
wakil wali kota menggantikan gubernur, bupati dan wali kota sampai dengan
berakhir masa jabatannya.[20]
UU Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah
Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan RI, hanya mengatur
secara terbatas proses pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007 tersebut
juga tidak mengatur ihwal pemberhentian gubernur dan wakil gubernur.
Untuk itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 29 tahun 2007, pengangkatan
dan pemberhentian tunduk pada ketentuan dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.[21]
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama Sebagai Gubernur DKI
Jakarta
Pelaksana Tugas (Plt)
Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama ditargetkan akan
dilantik sebagai gubernur DKI pada pertengahan November. Hal ini dipertegas
dengan adanya komunikasi antar DPRD untuk segera menggelar rapat paripurna
pelantikan setelah kelengkapan Dewan selesai dibentuk.
Surat Kemendagri dikirimkan kepada DPRD DKI. Surat
dikeluarkan setelah mendapat rekomendasi dari Mahkamah Agung. Adapun surat
Kemendagri itu adalah Surat Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
nomor 121.32/4438/OTDA perihal mekanisme pengangkatan Wakil Gubernur DKI
Jakarta menjadi Gubernur DKI Jakarta Sisa Masa Jabatan Tahun 2012-2017. Berikut
isi surat Kemendagri tersebut antara lain adalah sebagi berikut:[22]
Sehubungan dengan telah disahkannya pemberhentian Sdr. Ir. H. Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta Masa Jabatan Tahun 2012-2017, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 98/P Tahun 2014 tanggal 16 Oktober 2014, dengan hormat disampaikan hal sebagai berikut:
Sehubungan dengan telah disahkannya pemberhentian Sdr. Ir. H. Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta Masa Jabatan Tahun 2012-2017, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 98/P Tahun 2014 tanggal 16 Oktober 2014, dengan hormat disampaikan hal sebagai berikut:
1)
Di dalam ketentuan Pasal 20r ayat (1) Peraturan Pemerintah
Pengganti dan Walikota, ditegaskan bahwa dalam hal terjadi kekosongan Gubernur
yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, Wakil Gubernur menggantikan Gubernur sampai dengan berakhir masa
jabatannya.
2)
Tindak lanjut poin 1 di atas berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,
mekanisme pengusulan Wakil Gubernur DKI Jakarta menjadi Gubernur DKI Jakarta
diumumkan oleh Pimpinan DPRD DKI Jakarta dalam rapat paripurna dan diusulkan
oleh Ketua DPRD DKI Jakarta kepada Presiden RI melalui Menteri dalam Negeri.
3) Berkenaan dengan hal tersebut di
atas, diminta perhatian saudara untuk segera mengumumkan dalam rapat paripurna
sekaligus mengusulkan pengesahan pengangkatan Wakil Gubernur DKI Jakarta
menjadi Gubernur DKI Jakarta Sisa Masa Jabatan Tahun 2012-2017 kepada Bapak
Presiden RI melalui Bapak Menteri Dalam Negeri.
Demikian untuk menjadi perhatian dalam pelaksanaannya.
Ditandatangani: an Menteri Dalam Negeri, Direktur Jenderal Otonomi Daerah
(Prof. Dr. H. Djojermansyah Djohan, MA)
Tembusan disampaikan kepada yth: Bapak Menteri Dalam Negeri,
sebagai laporan dan Plt Gubernur DKI Jakarta
Pro
dan kontra telah mewarnai rencana pengangkatan Pelaksana tugas Gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menjadi gubernur defenitif .Perjalanan Ahok
menuju kursi gubernur DKI Jakarta cukup berliku. Ia mendapat penolakan dari
kelompok agama hingga sejumlah politisi di DPRD DKI Jakarta. Salah satu
kelompok yang menolak Ahok menjadi pemimpin DKI Jakarta adalah Front Pembela
Islam (FPI) yang sudah berulangkali berunjuk rasa di depan Gedung DPRD DKI dan
Balai Kota. Ketua Umum FPI Habib Muhammad Rizig Shihab dalam orasinya di depan
Balai Kota DKI Jakarta, pekan lalu menolak Ahok memimpin DKI Jakarta dengan
alasan penduduk Ibu Kota mayoritas Muslim, sehingga harus dipimpin gubernur
beragama Islam. Selain penolakan dari FPI terdapat pula pula penolakan dari
sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta.[23]
3.2. Status Hukum Pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama Sebaga Gubernur DKI Jakarta
Penolakan sejumlah politisi DRPD DKI Jakarta atas pengangkatan Ahok sebagai gubernur defenitif tidak terlepas dari perbedaan persepsi dasar hukum. Menurut Wakil Ketua DPRD Jakarta dari Partai Gerindra Muhammad Taufik mengatakan, Ahok tidak bisa langsung menjadi gubernur defenitif, dikarenakan pada Pasal 173 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomo 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Pemilihan Kepala Daerah menyebutkan gubernur dipilih oleh anggota DPRD. Meski mendapat penolakan dari sejumlah anggota legislatif, rapat paripurna pengumuman Ahok sebagai gubernur digelar anggota DPRD DKI Jakarta pada Jumat 14 November 2014.[24]
Meskipun
demikian masih ada pendapat yang mengatakan “Jokowi dan Ahok dipilih
berdasarkan UU No. 29 tahun 2007 bukan berdasarkan UU No. 32 tahun 2004. Jadi
pasal 203 ayat (1) Perppu itu tidak bisa diterapkan”. Pendapat itu nampak
mencampuradukan ketentuan tentang PEMILIHAN dengan PENGANGKATAN. Padahal pasal
203 ayat (1) bicara tentang Pengangkatan bukan Pemilihan. Pengangkatan Joko
Widodo dan Basuki Purnama sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur melalui Surat
Keputusan Presiden (Kepres) tanggal 8 Oktober 2012. Sebagaimana ketentuan pasal
109 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004 “Pengesahan pengangkatan pasangan
calon Gubernur dan wakil Gubernur terpilih dilakukan oleh Presiden
selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari” . Dilanjutkan dengan pelantikan oleh Mendagri pada tanggal 15
Oktober 2012, sesuai pasal 111 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004 “ “Gubernur dan
wakil Gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden”.[25]
Pendapat
bahwa pemilihan Joko Widodo dan Basuki Purnama menggunakan UU No. 29 tahun 2007
tidak sepenuhnya benar. UU ini hanya mengatur secara khusus tentang syarat
perolehan suara 50% calon Gubernur dan Wakil Gubernur (vide pasal 11
ayat (1)). Sedangkan tata cara penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur menggunakan UU No. 32 tahun 2004. Khususnya Bagian Kedelapan pasal 56
sampai pasal 119 UU No.32 tahun 2004. Terkecuali, pasal 107 ayat (2) UU No. 32
tahun 2004 dikesampingan oleh pasal 11 ayat (1) UU No. 29 tahun 2009. UU No. 32
tahun 2004, menentukan syarat perolehan suara 25% dikesampingan oleh syarat
perolehan suara 50% dalam aturan khusus di UU No. 29 tahun 2009. Jadi Pemilihan
Joko Widodo dan Basuki Purnama tahun 2012 menggunakan UU No. 32 tahun 2004,
Khusus tentang syarat perolehan suara 50% menggunakan UU No. 29 tahun 2007. Itu
saja yang menjadi kekhususannya.[26]
Dalam hal ini Ahok merasa yakin dirinya sudah menjadi Gubernur
berdasarkan Surat Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas pengunduran
diri Joko Widodo dari kursi Gubernur. Ahok berpegangan pada SK Presiden itu
yang mencantumkan pengangkatan Ahok sebagai Plt Gubernur DKI Jakara. Meskipun
DPRD DKI Jakarta masih belum satu suara antara Koalisi Merah Putih Dan Koalisi
Indonesia Hebat. Meskipun demikian, DPRD DKI Jakarta sebenarnya sudah meminta
bantuan dan konsultasi kepada MA menyangkut pembahasan dan penetapan undang-undang
yang digunakan untuk pengangkatan Ahok sebagai gubernur. Dari 3 aturan tersebut
di atas mana yang paling tepat menjadi dasar pijakan.
Tarik menarik kepentingan antar anggota legislatif terlihat, dan
menjadi kontroversi di tubuh DPRD DKI Jakarta sendiri, yaitu Ketua DPRD DKI
Jakarta Prasetyo Edi Marsudi memutuskan rapat paripurna istimewa tetap digelar
Jumat tanggal 14 Nopember 2014 yang lalu untuk mengumumkan Ahok sebagai
Gubernur definitif DKI Jakarta. Prasetyo Edi yang berasal dari PDI-P mengaku sudah
mendapat pandangan dari MA. Namun, keputusan Prasetyo Edi Marsudi ini mendapat
tentangan dari pimpinan DPRD DKI Jakarta yang lain. Mereka menilai Ahok belum
bisa diumumkan sebagai Gubernur DKI Jakarta karena DPRD DKI Jakarta masih
menunggu pandangan hukum dari Mahkamah Agung. “Jadi, DPRD sudah sepakat
melakukan konsultasi ke MA. Apa pun pendapat hukumnya, akan patuhi. Kalau sudah
ada (pandangan dari MA), lalu diumumkan dan dilantik, kita paripurna,” demikian
menurut Wakil Ketua DPRD dari fraksi PKS Triwisaksana.
Sebenarnya hal ini dilakukan Prasetyo Edi Marsudi berdasarkan surat dari Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan pada 28 Oktober 2014. Bahwa Terhitung sejak tanggal pelantikan Jokowi sebagai Presiden RI, DPRD diberi tenggat waktu 18 hari untuk melantik Ahok sebagai Gubernur DKI. Jika tidak, Mendagri yang akan mengambil alih pelantikan Ahok.[27]
Sebenarnya hal ini dilakukan Prasetyo Edi Marsudi berdasarkan surat dari Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan pada 28 Oktober 2014. Bahwa Terhitung sejak tanggal pelantikan Jokowi sebagai Presiden RI, DPRD diberi tenggat waktu 18 hari untuk melantik Ahok sebagai Gubernur DKI. Jika tidak, Mendagri yang akan mengambil alih pelantikan Ahok.[27]
Hal ini pemicu dan membuat blunder di internal DPRD DKI Jakarta
sendiri, mungkin lebih bijak bila konsul informal yang jadi rujukan Ketua DPRD
DKI Prasetyo Edi Marsudi, tetap menghormati jawaban formal dari MA. Direktur
Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan
merekomendasikan demikian dengan mengabaikan Pasal 174 ayat (2). Karena mengenai
siapa yang menggantikan jabatan gubernur yang lowong Pasal 174 ayat (2)
mengatur, apabila sisa masa jabatan gubernur yang berhenti atau diberhentikan
berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap lebih dari 18
bulan, pemilihan gubernur pengganti dilakukan melalui DPRD provinsi. Aturan ini
jadi rujukan karena Jokowi dan Basuki dilantik sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur Jakarta pada 15 Oktober 2012, sehingga masa jabatan mereka masih
tersisa lebih dari 18 bulan, yakni sampai 15 Oktober 2017.
Menurut pengamat hukum tata negara Refly Harun menyebut Ahok bisa dilantik menjadi gubernur dengan berpedoman pada Pasal 203 ayat (1) Perpu 1/2014. “Filosofinya sederhana. Mereka dipilih secara paket, gubernur dan wakilnya dipilih secara langsung. Untuk ke depan, jika perpu jadi undang-undang dan pilihan sudah tidak satu paket, wakilnya tidak bisa langsung naik,” ujarnya. Setelah menjadi gubernur, Basuki bisa memilih wakilnya atas persetujuan Mendagri. Namun, jika suatu saat Ahok berhalangan atau berhenti, wakil yang dipilihnya atas persetujuan Mendagri itu tak bisa serta-merta “naik” menjadi gubernur. “Karena tidak dipilih secara langsung,”. Dan hal ini berlaku bagi seluruh kepala daerah. Pelantikan wakil Kepala Daerah dilakukan dengan disumpah untuk masa jabatan 5 tahun. Untuk menjalankan tugasnya selama 5 tahun wakil Kepala Daerah tidak memiliki halangan tetap ataupun sementara. Dan masa jabatannya masih melebihin 18 buln lagi menuju15 Oktober 2017.[28]
Polemik pengisian jabatan Gubernur DKI Jakarta berakhir setelah Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan surat keputusan perihal pengangkatan Basuki Purnama untuk menggantikan Gubernur Joko Widodo yang mengundurkan diri per 16 Oktober 2014. Surat Keputusan nomor 121.32/4438/OTDA menjadi dasar hukum mekanisme pengangkatan Basuki Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan sisa masa jabatan tahun 2012-2017. Kementrian Dalam Negeri mengatakan bahwa dikeluarkannya surat keputusan tersebut setelah mendapat rekomendasi dari Mahkamah Agung.[29]
Menurut pengamat hukum tata negara Refly Harun menyebut Ahok bisa dilantik menjadi gubernur dengan berpedoman pada Pasal 203 ayat (1) Perpu 1/2014. “Filosofinya sederhana. Mereka dipilih secara paket, gubernur dan wakilnya dipilih secara langsung. Untuk ke depan, jika perpu jadi undang-undang dan pilihan sudah tidak satu paket, wakilnya tidak bisa langsung naik,” ujarnya. Setelah menjadi gubernur, Basuki bisa memilih wakilnya atas persetujuan Mendagri. Namun, jika suatu saat Ahok berhalangan atau berhenti, wakil yang dipilihnya atas persetujuan Mendagri itu tak bisa serta-merta “naik” menjadi gubernur. “Karena tidak dipilih secara langsung,”. Dan hal ini berlaku bagi seluruh kepala daerah. Pelantikan wakil Kepala Daerah dilakukan dengan disumpah untuk masa jabatan 5 tahun. Untuk menjalankan tugasnya selama 5 tahun wakil Kepala Daerah tidak memiliki halangan tetap ataupun sementara. Dan masa jabatannya masih melebihin 18 buln lagi menuju15 Oktober 2017.[28]
Polemik pengisian jabatan Gubernur DKI Jakarta berakhir setelah Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan surat keputusan perihal pengangkatan Basuki Purnama untuk menggantikan Gubernur Joko Widodo yang mengundurkan diri per 16 Oktober 2014. Surat Keputusan nomor 121.32/4438/OTDA menjadi dasar hukum mekanisme pengangkatan Basuki Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan sisa masa jabatan tahun 2012-2017. Kementrian Dalam Negeri mengatakan bahwa dikeluarkannya surat keputusan tersebut setelah mendapat rekomendasi dari Mahkamah Agung.[29]
BAB IV
PENUTUP
4.1. Simpulan
1.
Polemik pengisian jabatan
Gubernur DKI Jakarta berakhir setelah Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan surat keputusan perihal pengangkatan
Basuki Purnama untuk menggantikan Gubernur Joko Widodo yang mengundurkan diri per 16
Oktober 2014. Surat Keputusan nomor 121.32/4438/OTDA menjadi
dasar hukum mekanisme pengangkatan Basuki Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan sisa masa jabatan tahun 2012-2017. Kementrian
Dalam Negeri mengatakan bahwa dikeluarkannya surat keputusan tersebut setelah mendapat rekomendasi dari Mahkamah Agung.
2.
Status hukum pengankatan Basuki
Purnama bersdasarka Surat Keputusan nomor 121.32/4438/OTDA dinyatakn konstitusional dan tidak
bertentangan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan lainnya.
4.2. Saran
Berkenaan
dengan dibuatnya makalah ini, penulis memiliki saran-saran bagi pembaca, antara
lain:
1) Bagi
pemerintah, dengan adanya polemik yang terjadi di atas mak di harapkan di
kemudian hari dibentuk suatu peraturan perundang-undang guna menjamin kepastian
hukum apabila terjadi kasus yang sama sehingga tidak meimbulkan polemic yang
berkepanjangan seperti yang pernah terjadi.
2) Bagi
masyarakat, dengan adanya kasus seperti yang terjadi diatas diharapkan
masyarakat mampu bersikap kritis dan bijaksana dalam menanggapi masalah yang
ada sehingga tidak terjadi disintegrasi di dalam masyarakat.
3) Bagi
Mahasisa dan pembaca pada umumnya, diharapkan dengan adanya makalah ini bisa
menambah pemaham mahasiswa atau pembaca pada umumnya mengenai sistem pemilihan
kepala darah yang ada di indonesia sehingga dapat bermanfaat dikemudian hari.
[4] Mukhtie
Fajar. Jurnal Konstitusi Volume 6 November 1 “Pemilu Yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum dan PHPU.
Jakarta:Sekertriat Dan Kepaniteraan Jenderal Mahkamah Konstitusi.2009. hlm.4
[5] Ibid. hlm.6
[6] http://www.tribunnews.com/nasional/2014/11/20/kmp-pengangkatan-ahok-jadi-gubernur-inkonstitusional diakses pada 2 januari 2014
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[21] Ibid.
[22]http://megapolitan.kompas.com/read/2014/10/30/13284951/Dilantik.18.November.Ini.Surat.Pengangkatan.Ahok.Jadi.Gubernur. diakses pada 2 januari 2014
[23] Ibid.
[24] http://news.okezone.com/read/2014/11/17/338/1066339/ahok-jadi-gubernur-konsekuensi-konstitusi diakses pada 2 ajnuari 2014
[25] Ibid.
[26] http://www.voaindonesia.com/content/presidenokowiantik-ahok-jadi-gubernur-dki-jakarta/2526024.html diakses pada 2 januari 2014
[27] Ibid.
[28]
iIbid.